Pages

Rabu, 22 Januari 2014

cerpen - hadiah terindah dibulan ramadhan

Sinar mentari muncul di ufuk timur kota yang menjadi dambaan semua pemimpi untuk bisa meraih apa yang diinginkan di kota ini. Perlahan-lahan mentari menampakkan dirinyanya begitu juga dengan mulainya berbagai aktivitas yang menumpuk ruah di kota besar ini. Mulai dari supir angkot, kenek sopir, pedagang asongan, pedagang kaki lima di emperan toko, penjual koran, pengamen, para pekerja kantoran, hingga pejabat bertumpah ruah di jalan untuk bergegas menjemput impian dan asa yang dimiliki.
Tin… Tin… Tin… suara klakson dari penjuru arah berteriak-teriak tanda kemacetan yang menjadi rutinitas di kota besar ini. Ya itu lah yang selalu di temui oleh warga kota ini, apabila tidak berlomba dengan waktu untuk start duluan demi menghindari kemacetan yang sudah menahun seperti penyakit dalam raga seorang manusia yang tak kunjung sembuh.
“Ya ampun…, pak Anwar kenapa lewat jalan sini sih…, tuh terjebak kemacetan.” Kata seorang remaja laki-laki di dalam mobil mewah yang sedang gusar dengan wajah yang gelisah sambil melihat jam di tangan kanannya yang menunjukkan pukul 06.55.
“Bapak ndak tahu den.., kok tiba-tiba ada kemacetan di jalan ini?. Coba Bapak lihat dulu di arah depan sana terjadi apa ya?.” Pak Anwar keluar dari pintu mobilnya sambil menjinjing kakinya dan berjalan tak jauh dari mobil.
Sementara itu di dalam mobil mewah remaja laki-laki yang dari tadi tampak gelisah mengeluarkan ipadnya di dalam tas sekolahnya, dan mulai menyentuhkan jari telunjuknya di layar yang berukuran 8 inci itu. Dari arah sebelah kiri trotoar datang segerombolan pengamen, beberapa pedagang asongan, dan penjual koran mendekati para pengandara mobil, motor maupun supir taksi.
Salah satu penjual koran yang masih anak-anak dengan handuk berwarna orange melingkar di lehernya mendekat ke kaca mobil mewah itu sambil menunjukkan korannya.
“Koran…, koran…, koran…” kata anak laki-laki itu.
Remaja laki-laki itu melihat dengan sekilas wajah penjual koran itu dan menghadapkan ipadnya ke arah kaca mobil dan kembali fokus ke ipadnya.
Tak ada respon dari dalam untuk dibukakan kaca mobil itu, sehingga berlalulah penjual koran itu ke mobil maupun pengendara motor dan sopir taksi lain.
Lima belas menit kemudian pak Anwar kembali ke dalam mobil dan melaporkan apa yang terjadi.
“Wah den di depan sana ada demo besar, untungnya ada beberapa polisi yang akan mengalihkan jalur ke arah sebelah kanan dan itu tembus ke sekolah aden”. Kata pak Anwar sambil menstarter ulang kunci mobil dan menginjak gas perlahan.
“Ya udah pak tancap gas.., sudah telat nih…” kata remaja itu sambil memasukan ipadnya di dalam tas sekolahnya.
Perempatan lampu merah segerombolan pengamen, pedagang asongan dan penjual koran tadi beraksi untuk mendapatkan pundi-pundi rupiah demi kelangsungan hidup mereka. Satu demi satu dari mereka mulai masuk di bis, angkutan mikrolet, dan berdiri di depan taksi, mobil dan pengendara motor. Tampak dari wajah mereka penuh harapan, berharap hari ini ada penghasilan dan lebih baik dari kemarin.
Seorang anak laki-laki dari gerombolan itu menjajakan puluhan korannya yang ada di lengannya.
“Koran…koran”, hot topik… hot topik” ia berteriak dengan semangat sambil melambaikan korannya di depan pengendara mobil maupun motor yang di lewatinya.
Lampu lalu lintas sudah siap mengkodekan di lampu hijau, mereka harus segera bertepi ke trotoar. Dan anak laki-laki penjual koran itu bersama gerombolan lainnya naik ke atas trotoar.
Di troator jalan ia berdiri sambil menghitung jumlah koran yang terjual,
“Alhamdulillah, sudah terjual 15 koran dari 20 koran yang setor di pagi hari ini” ucapnya dengan helaan nafas bertanda lega, dan sambil mengelap keringat di dahinya dengan handuk kecil berwarna orange yang di lingkarkan ke lehernya.
Matahari mulai meninggi, suhu udara pun mulai terasa panas, anak laki-laki itu menuju halte bis untuk beristirahat sejenak, di halte bis ada seorang penjual koran juga yang sedang beristirahat sebaya dengannya namanya Safir, ia duduk dekat Safir. Ia menaruh 5 koran yang tersisa di kursi halte bis.
“Sudah berapa yang terjual” Tanya Safir pada anak laki-laki itu
“Alhamdulillah, sudah laku 15 tadi pagi, rezeki hari ini cukup, lebih baik dari hari kemarin”, jawabnya sambil tersenyum dan mengelus dadanya.
“Syukurlah” Safir membalasnya
Anak itu balik bertanya pada Safir temannya.
“Kalau kamu Fir sudah berapa yang terjual koran kamu?.”
“Hanya 3 yang terjual dari 20 yang setor ke saya” jawabnya sambil memandang ke arah korannya dengan wajah yang sedih.
“Jangan sedih ya…, tetap ucapkan Alhamdulillah, insya Allah akan di tambahkan nikmat dan rezeki kepada yang tetap bersyukur kepada Allah, baik di waktu lapang dan sempit”, kata anak laki-laki itu tersenyum sambil menepuk pundak Safir untuk memberikan semangat pada temannya itu.
“Oh ya haus nih..” kata anak laki-laki itu sambil mengusap lehernya
“Kamu masih disini Safir?” Tanya anak laki-laki itu
“Iya…” jawab Safir
“Tolong jagaian koran-koran saya, saya mau beli air mineral di warung dekat sini”. Kata anak laki-laki itu sambil menepuk koran-korannya di kursi halte.
“Oke, tenang aja…” sambil mengangkat jempol kanannya.
Tidak lama kemudian anak laki-laki itu kembali dengan dua botol air mineral di kantong belanja bawaannya dari warung terdekat.
Satu air botol mineral di dalam kantong belanjaan dia keluarkan.
“Ini minum air mineral dulu, supaya nggak dehidrasi” katanya dengan memberikan satu botol air mineral dengan tanggan kanannya pada Safir.
“Tapi.., saya kan nggak minta” jawabnya sambil memandang anak-anak laki-laki itu dengan wajah heran.
“Iya…, nggak apa-apa kok, ambil saja…, kan lebih baik tangan di atas dari pada tanggan di bawah” ujarnya dengan tersenyum pada Safir.
“Terima kasih…” balas Safir dengan wajah yang malu.
Suara adzan di kumandangkan tanda masuk waktu shalat dzuhur. Anak laki-laki itu beranjak dari tempat duduknya, dan menggangkat koran-koran dari kursi sebelah.
“Ayo sholat dzuhur dulu..”, ajak anak laki-laki itu pada Safir temannya.
“Hmm…” Safir bergumam sambil bola matanya ke kiri kekanan.
“Ayolah, Shalat dulu, kemudian lanjutkan lagi dagangan korannya. Insya Allah diberikan kemudahan dan keberkahan dalam aktivitas dan rezeki yang diperoleh.” Kata anak laki-laki itu sambil menarik lengan tangan Safir. Kemudian mereka pun berangkat menuju masjid untuk menunaikan shalat fardhu dzuhur, yang lokasi masjidnya tidak jauh dari halte bis itu.
TEET… TEET… TEET… TEET…TEET… Lima kali bel sekolah di bunyikan tanda pulang siswa-siswi SMA HARAPAN BANGSA, Siswa-siswi dengan muka ceria berhamburan dari ruang kelas. Remaja laki-laki berusia 15 tahun, tinggi, cakep, putih, dan berambut hitam tebal bersama teman-teman sebayanya dengan tawa dan canda keluar dari ruang kelas menuju pintu gerbang sekolah bersama teman-temannya. Sampai di pintu gerbang anak remaja laki-laki itu mengeluarkan BBnya dari saku celananya…
Bersambung…

0 komentar:

Posting Komentar

 

Fans