Kring…, bel pulang sekolah
berbunyi. Ada 2 cewek keluar kelas, thika dan luna namanya. Mereka murid kelas
10 sma pertiwi. Mereka mempunyai sifat yang bereda, luna sifatnya keras kepala
tapi penyayang, sedangkan thika selalu sabar dan baik hati. Walaupun kedua
cewek itu mempunyai sifat yang berbeda, tapi mereka saling melengkapi. Mereka
selalu bersama, sampai pada akhirnya mereka memutuskan untuk membuat tempat
persembunyian di dekat sawah, di sana terdapat rumah pohon dan sebuah kursi.
Setiap pulang sekolah mereka menyempatkan untuk bersenda-gurau di sana. Mereka
memiliki hobinya masing-masing, luna menyukai dance, sedangkan thika menyukai
karya sastra. Perbedaan kedua hobi tersebut tak membuat mereka ragu tuk
berteman, karena mereka selalu melengkapi.
Kisah ini berawal dari aku, bertemu dengan seorang cowok. Saat
itu, karena luna sedang latihan dance, jadi aku dan luna tidak di tempat
persembunyian, aku memutuskan saat pulang sekolah membaca buku di taman
sekolah, saat itu keadaan sekolah sangat sepi, aku membaca buku, tiba-tiba
darah menetes di bukuku, ternyata aku mimisan “tuhan, kenapa tiba-tiba aku
mimisan”. Tiba-tiba seorang cowok mendekatiku, “hai, ada apa dengan hidungmu?”,
“hah, apa hidungku?” aku sambil memegang hidungku “iya, hidungku mimisan” cowok
itu mengambil sapu tangannya, dan membersihkan hidungku. “gak usah, aku bisa
sendiri kok.”, “udahlah biar aku saja nggak papa.”, “oh ya, kenalin aku tama,
kamu?”, “thika”. Sejak saat itu aku dan dia mulai mengenalnya, dan mulai
mempunyai perasaan yang sama.Sampai di rumah, aku mengingat kejadian itu, “tuhan, kenapa aku masih mengingat kejadian itu?, aku berharap aku bisa berteman dengannya”
Esoknya, seperti biasa saat
istirahat aku dan luna pergi ke kantin, kebetulan saat itu yang memesan makanan
luna, dan aku duduk menunggunya. Tiba-tiba saat luna membawa makannan, ada
seorang cowok yang menabraknya. Aku tak asing lagi melihatnya ternyata cowok
itu tama.
Brrakkk…, luna dan semua makanannya
jatuh. “aw…?”, “eh, maaf ya?”, tama sambil membantu berdiri luna yang hanya
diam dan hanya memandang kagum a saja “hai, kamu tak apa?”, “hah, apa?”, “kamu
tak apa?”, “iya, aku tak apa”, “kenalin aku luna”, “tama”, “kamu mau gak makan
bareng sama aku sama temenku?”, “boleh, memang yang mana temenmu?”, “itu yang
duduk di sebelah sana”, “oh, ya kamu kesana dulu aku mau pesan makanan lagi”,
“baiklah” tama pun menghampiri thika “hai?”, “tama”, aku menjawab kaget “kamu
temannya luna ya?”, “iya, eh ntar kalau luna ke sini kita pura-pura belum kenal
ya”, “memangnya kenapa?”, “gak papa, pokoknya pura-pura gak kenal aja”,
“baiklah”. Tak lama kemudian luna datang menghampiri mereka berdua “thika
kenalin ini tama”, “tama kenalin ini thika”, “tama”, “thika”. Sejak saat itu
mereka bertiga memutuskan untuk berteman, sejak saat itu juga thika dan luna
mengajak tama ke tempat persembunyiannya. Mulai saat itu kisah ini di mulai.
Suatu saat tak seperti biasanya,
luna latihan dance untuk menghadapi lomba tingkat sekolah, jadi hanya aku dan
tama yang ke tempat persembunyian. Aku kesana dengannya untuk membaca buku
bersama, karena kebetulan hobi kita sama. Sesampainya disana kita berdua
membaca buku di rumah pohon. Kami berdua membaca buku sambil bersenda-gurau,
sampai akhirnya, kami berhenti bersenda-gurau, dan mata kami saling menatap,
entah apa yang ada di pikiran kami. Saat kami saling menatap tiba-tiba aku
mimisan, tama melihatnya, “eh, hidungmu berdarah” dengan wajah panik sambil
mengambil sapu tangan yang akan di gunakan untuk membersihkan hidungku, “hah,
apa hidungku berdarah?”, “iya, kenapa kamu mimisan lagi?”, “iya, nggak tau
akhir-akhir ini hidungku sering mimisan” sambil mencoba menghalangi tama yang
akan membersihkan dengan sapu tangannya. “sudahlah biar aku bersihkan.”
Setelah itu kami pulang.
Sesampainya di rumah, aku menulis diary “tuhan, hari ini aku bahagia, entah
mengapa, setelah aku mengenalnya, hidupku jadi indah,”. Saat aku sedang menulis
diary aku merasakan sakit kepala, yang membuatnya sangat kesakitan. Mengapa tak
seperti biasanya kepalaku sakit, ada apa denganku?
Hari demi hari telah dilewati
bersama tanpa luna, hanya aku dan tama yang selalu di tempat persembunyian.
Semakin hari hubunganku dengannya semakin akrab, yang membuatku yakin bahwa
sebenarnya aku suka dengannya. Saat itu hujan sangat deras, aku terjebak di
rumah pohon dengan tama, akhirnya aku dengan tama menunggu hingga hujan reda.
Di saat itu, tama tiba-tiba menanyaiku dengan wajah yang serius “thika, apakah
kamu punya perasaan yang sama denganku?”, “maksudnya?” jawabku binggung,
“sekarang kamu boleh anggap aku gila, tapi aku ingin mengungkapkan bahwa
sebenarnya aku suka sama kamu?”, ketika tama mengungkapkan perasaan yang
sebenarnya, aku bingung harus berbuat apa?, lalu aku menjawabnya dengan gugup “hah,
kenapa kamu suka sama aku?”, “aku suka sama kamu, sejak saat kita pertama
bertemu di taman, aku menganggap kamu cewek yang membuat hatiku saat itu jadi
tenang”, “thika, apa kamu juga memiliki rasa yang sama denganku?”, aku menjawab
dengan gugup “aku… Aku…, juga suka sama kamu”. Mulai saat itu, kami tau
bagaimana perasaan kami yang sebenarnya. Setelah lamanya kami menungu, akhirnya
hujan mulai reda, akhirnya kami memutuskan untuk pulang.
Sampai di rumah, hatiku senang
sekali, teringat saat tadi, aku dan dia mulai tau perasaan kami satu sama lain.
Aku menulis diary, “tuhan, terima kasih, karena saat ini engkau ijinkan hatiku
bahagia”
Esoknya, saat di sekolah, aku ingin
menceritakan kejadian itu dengan luna, tapi tiba-tiba luna ingin cerita
denganku. Aku tak tau apa yang diceritakannya, ternyata dia ingin bercerita
tentang tama, dalam hati ku bertanya-tanya, mengapa luna ingin bercerita
tentang tama?. Dalam pembicaraannya ternyata dia ingin mengatakan padaku, bahwa
dia suka sama tama. Saat itu jantungku berdetak kencang, spontan aku diam,
semua tubuhku rasanya lemas, dan sepertinya saat itu air mataku tak dapat
kutahan lagi. Dalam hati aku menangis, “mengapa harus tama, mengapa bukan orang
lain saja”, “tuhan, kenapa engkau biarkan hatiku bahagia hanya sebentar”.
Setelah itu, aku mulai sadar mungkin dia bukan untukku?.
Sejak saat itu aku mulai menjauhi tama, dan sejak saat itu pula luna mulai dekat dengannya. Rasanya sakit banget ketika orang yang ku sukai dekat dengan sahabatku sendiri.
Sejak saat itu aku mulai menjauhi tama, dan sejak saat itu pula luna mulai dekat dengannya. Rasanya sakit banget ketika orang yang ku sukai dekat dengan sahabatku sendiri.
Sesampainya di rumah, ketika aku
mau menulis, semua tubuhku lemas, aku tak kuat untuk menggerakkannya, aku
memanggil mamaku, mamaku panik, akhirnya mamaku dan papaku membawaku ke rumah
sakit, sesampainya di sana aku di periksa. Setelah itu, mamaku menanyakan,
apakah keadaanku baik-baik saja. Saat itu aku agak sadar, dan mendengar
pembicaraan itu, ternyata aku mengidap penyakit leukimia stadium 4, dan umurku
tinggal 3 bulan lagi. Saat itu, entah tak tau apa yang sedang aku pikirkan, aku
pikir sepertinya tuhan nggak adil, mengapa dia merampas semua kebahagianku. Aku
tak tau apa yang harus ku lakukan setelah itu. Saat itu harapanku mulai jatuh,
tak ada orang yang memotivasiku, selain mamaku. 2 hari aku terpuruk sendiri di
kamar. Aku menulis diary, “tuhan berikan aku waktu agar aku dapat membahagiakan
orang yang aku sayangi, sebelum aku meninggalkan dunia ini”
Setelah 2 hari aku tak masuk, luna
menanyaiku mengapa aku tak masuk, tapi aku hanya bilang keperluan keluarga,
agar dia tak tau bahwa aku mengidap penyakit leukimia. Saat itu wajahku pucat,
luna mengajakku ke uks untuk istirahat, tapi aku bersih keras menolak
tawarannya. Saat pulang sekolah, tiba-tiba tama menungguku di dekat pintu
gerbang, aku menghindar darinya, tapi dia mulai mencurigaiku, mungkin dalam
hatinya dia bertanya-tanya, mengapa akhir-akhir ini tingkahku mulai berubah.
Saat itu dia menarik tanganku, dan mengajakku ke tempat persembunyian,
sesapainya disana dia berkata padaku, “mengapa akhir-akhir ini kamu
menjauhiku?” tanyanya dengan wajah yang tegang, “aku merasa tak menjauhimu?”,
“tapi mengapa saat aku bertemu denganmu, kamu selalu menghindar dariku?”, “apa
sekarang kamu membenciku atau kamu nggak mau temenan sama aku lagi?”, “nggak
tama, sekarang jujur, memang saat ini aku menjauhimu, karena ada sesuatu yang
nggak seharusnya kita deket”, jawabku. “jadi, intinya kamu nggak mau lagi
temenan sama aku?”, “nggak tama, kamu tau nggak, sebenernya, luna suka sama
kamu”, “trus, apa hubungannya kamu njauhin aku?”, “aku ingin, aku beri
kesempatan buat kamu deket sama luna”, “tapi kan, aku nggak suka sama
luna”jawab tama, “kamu mau gak janji sama aku?”, “janji apa?”, “satu minggu
lagi luna lomba dance, disaat hari itu juga kamu nembak dia?”, “hah, apa?, aku
nembak dia?, kamu tahu kan aku suka sama kamu, aku nggak suka sama dia?, “kamu
suka sama aku kan?”, “iya, aku suka sama kamu.”, “lakuin itu buat aku”jawabku,
“baiklah jika itu maumu” jawab tama terpaksa.
Sejak saat itu mereka berdua
semakin jauh, yang biasanya tama dekat dengan thika, sekarang makin hari tama
makin deket sama luna, hal tersebut yang membuat thika makin sakit.
Satu minggu telah berlalu, inilah
saat yang dinanti-nanti oleh thika sebab, thika ingin membuat membuat luna
bahagia. Saat itu lomba sudah dilaksanakan, semua peserta lomba sudah tampil,
demikian juga luna, saat telah diumumkan pemenangnya, ternyata luna menang,
saat itu luna maju ke depan panggung, tiba-tiba tama muncul, dan menghampiri
luna di depan panggung, dan saat itu juga tama menyatakan perasaannya di depan
umum. Saat itu ada dua rasa yang kurasakan, bahagia atau sakit, aku berkata
dalam hati, “tuhan, kenapa hati ini bahagia dan juga sakit?”
Setelah kejadian itu, makin hari
tama dengan thika makin jauh. Setiap saat, ketika aku melihat mereka berdua
yang sedang asyik bercanda tawa, rasanya hatiku ingin menangis, yang membuat
penyakit ini makin lama makin parah.
Suatu hari, aku di taman sendiri,
dan menangisi kesalahan apa yang pernah ku buat, seandainya waktu bisa
berputar, aku tak kan menyia-nyiakan dirinya, saat aku sedang merenung
tiba-tiba ada seseorang mendekatiku, ternyata orang itu tama, aku menengok ke
belakang dengan wajah yang masih ada tetesan air mata, “mengapa kamu
menanggis?”, tama menayaiku dengan wajah yang cemberut. “tak apa aku hanya
ingin menangis aja?, trus mana luna, dia baik-baik saja kan?” jawab thika “kamu
tuh gimana sih, harusnya dia yang harus nanyain keadaanmu?”, jawab tama. “trus
kenapa kamu di sini sendirian?”, kata tama. “tak apa aku hanya inggin di
sini?”. Tiba-tiba thika menangis dan memeluk tama, “tama aku sayang sama kamu?”,
“aku juga sayang sama kamu”, jawab tama. Setelah memeluk tama, thika pingsan,
dan akhirnya, tama membawanya ke rumah sakit.
Sampai di sana, tama menelpon
orangtua thika, setelah itu dokter menjelaskan, thika terlalu lelah, yang
membuatnya pingsan, saat itu juga tama tau bahwa thika punya penyakit leukimia
stadium 4. Air mata tama tak dapat dibendungnya, menangislah tama di dekat
thika rasanya tama ingin marah dengan thika, tapi sudah terlanjur, karena semua
sudah terjadi, tama merasa bersalah karena telah menyakiti thika. Setelah thika
sadar, tama bilang pada thika “kenapa kamu membohongiku?”, “aku bukannya
bermaksud membohongimu, tapi aku hanya tak ingin kamu menghawatirkan tentang
penyakitku?” jawab thika. “tapi kamu harus cerita dong, ini namanya bukan
pertemanan, kalau saling membohongi.” jawab tama, “ya udah sekarang aku ngaku
salah, aku minta maaf”, “ya, aku maafin, tapi jangan diulangi lagi” jawab tama.
“tama kamu harus janji, jangan bilang ke luna tentang penyakitku, dan kamu
harus janji, jangan pernah kamu ninggalin luna” thika bicara dengan wajah
serius. Tama menjawab “kok gitu, ini namanya gak adil”, “kalau kamu mau?, kalau
gak mau aku gak mau jadi temenmu lagi”, “iya deh, ak mau”, jawab tama dengan
berat hati.
Satu bulan telah berlalu, waktu thika
tinggal dua bulan lagi. Bulan kedua dia manfaatkan bersama dengan tama, yang
membuat luna mulai curiga dengan mereka berdua. Luna curiga, karena akhir-akhir
ini mereka berdua akrab. Sampai pada akhirnya, saat itu hari ulang tahunku,
hanya tama yang ingat ulang tahnku, sedangkan luna tidak, saat itu pulang
sekolah, tama mengajakku ke tempat persembunyian, saat itu aku dan tama tak
sadar bahwa sebenarnya luna mengikuti kami. Saat itu kami berdua duduk bersama
di kursi, tama menyembunyikan sesuatu di dalam tasnya, saat itu aku tak tau apa
yang dibawanya, ternyata dia memberikanku setangkai mawar berwarna merah, aku
tak tau apa yang kurasakan saat itu, apakah aku harus senang ataukah aku karus
sedih?. Dan tiba-tiba luna mendekati kami, jantungku berdetak kencang saat itu,
wajahnya penuh dengan amarah, aku tak tau apa yang harus kulakukan saat itu dan
dia bicara pada kami, “oh, jadi ini yang namanya teman, kalian lakukan di
belakangku?” aku menjelaskannya “kamu salah lihat luna, kita cuma temenan,
enggak lebih?”, luna menjawab dengan wajah yang penuh amarah “temenan, masa
temenan berduaan, tanpa sepengetahuanku, itu yang namanya temenan?”, tama
menjawab “luna kamu jangan kasar sama thika?”. “oh, jadi kamu lebih belain dia,
dibanding aku, pacarmu?, udah lebih baik kita gak usah sahabatan lagi?” kata
luna sambil berjalan meninggalkan kami. “tapi luna, beneran kita cuma tamenan
aja.” aku meneriakinya, tapi dia tak hiraukanku. Setelah itu aku terjatuh dan
menangis, dan kemudian tama membantuku untuk berdiri. “sudahlah thika, jangan
dimasukan ke hati, mungkin tadi dia terlalu emosi”, “tapi dia, memutuskan
hubungan persahabatan kita?”, “udahlah, jangan pikirkan dia lagi, pikirkan saja
kondisimu sekarang.”, “baiklah” thika menjawab ragu.
Esoknya saat di sekolah, aku duduk
di samping luna, tapi dia menghindari ku. Dalam hatiku, aku menangis, “tuhan,
kenapa dia mendiamkanku, padahal aku hanya ingin membahagiakannya.”
Bulan ke dua telah berakhir,
tinggal satu bulan lagi aku meninggalkan dunia ini. Saat ini aku mulai menjauhi
tama, tetapi tetap saja tama selalu mendekatiku, yang membat luna tambah marah.
Setelah pulang sekolah, aku selalu di tempat persembunyian dengan tama, dia
selalu menghiburku disaat hatiku sakit, dan tubuh ini mulai tak berdaya lagi.
“suatu saat nanti aku berjanji akan memilih persahabatan dibanding cinta”,
terangku pada tama. “maksud kamu apa sih, kaya orang mau pergi aja?”. Aku hanya
senyum padanya.
Minggu ke 3 aku mulai tak masuk
sekolah, karena aku menjalani perawatan di rumah sakit, aku koma selama 1
minggu. Semua orang tak ku beri tahu, kecuali tama, yang selalu temaniku, saat
aku koma, tapi luna tak tau, karena dia mengutamakan egonya. Hampir 1minggu
lebih aku tak sadar, hingga 2 hari terakhir aku menunggu luna, tapi dia tak
kununjung menjengukku, aku mulai kecewa dengannya, alasan aku berjuang untuk
hidup adalah demi dirinya.
Hari terakhir aku hidup. Esoknya saat di sekolah luna merasa
aneh, karena aku tak juga masuk, saat dia iseng mengintip lokerku, ternyata dia
menemukan diaryku yang tertinggal di loker, saat itu juga dia membacanya,
“tuhan, maafkan aku, tapi ini penting, tolong tuhan, jaga dia, jangan biarkan
dia membenciku, aku ingin dia tau kalau sebenarnya, aku lebih memilih
persahabatan, dan esok aku mulai tak meliatnya karena aku akan meninggalkannya
selamanya, karena aku akan mati bersama penyakit leukimiaku, “air mata luna tak
dapat lagi dibendungnya saat membaca, dia berlari, dan mencari tama untuk tahu
kebenarannya, kemudian mereka berdua menuju ke rumah sakit, sampai di sana
thika melihatnya dengan wajah yang berbinar-binar. “mengapa kamu bohong
denganku thika, kamu jahat” tanya luna dengan wajah kecewa. “aku, hanya tak
ingin menjadi bebanmu saja”, “kamu mau maafin aku kan?” jawab thika. “aku akan
selalu memaafkanmu”, “kamu akan anggap aku sahabat kan?”, tanya thika. “ya,
thika aku akan selal jadi sahabatmu.”, “luna, tama, kamu harus janji sama aku?”
sambil memegang tangan luna dan tama untuk disatukan. Keduanya menjawab, “iya,
janji apa?”. “kalian harus janji, tama gak boleh ninggalin luna, dan begitu
juga sebaliknya, luna gak boleh ninggalin tama, kalian harus bersama untuk
selamanya?” pernyataan thika. “ya, kita janji” jawab mereka.Kemudian mereka berdua menemani thika hingga tertidur, dan tiba tiba saja grafik penghitung detak jantung berhenti bergerak dan berbunyi,titttttt…
Mereka terbangun, spontan kaget, dokter menghampirinya, ternyata thika sudah tiada, wajahnya berseri, dan bibirnya tersenyum. Mereka berdua sedih, dan untuk yang terakhir kalinya tama mencium keningnya sambil menangis dan berbisak “kamu selalu ada di hatiku”.
Dan akhirnya tama dan luna memulai lembar baru yang indah tanpa thika.
0 komentar:
Posting Komentar