Daerah
garis pantai Kreung Raya memang menyimpan banyak cerita setelah tsunami
reda. Di pantai itu pula ulama besar dari abad silam, Syiah Kuala
dimakamkan. Makam yang indah di tepi pantai.
Di
tepi pantai itu pula, dua malam sebelum bencana, menurut keterangan
penduduk yang selamat, beberapa anggota Brimob yang beragama Kristen
merayakan malam Natal. Acara cukup meriah, ujar seorang penduduk yang
selamat. Tapi tak hanya perayaan Natal. Pada malam berikutnya, perayaan
Natal berganti dengan pesta. Tak jelas, apakah orang-orang yang berada
di tempat tersebut sama dengan orang-orang sebelumnya, tapi yang jelas,
malam itu lebih meriah dengan malam sebelumnya.
Pesta
api unggun hingga pagi hari. Tenda-tenda juga didirikan. Suara-suara
perempuan terdengar oleh penduduk dari kejauhan. Entah sedang
berlangsung pesta apa di pantai dekat makam Syekh Syiah Kuala itu. Pesta
memang terus berlangsung hingga sinar matahari memecahkan gelap langit.
Penduduk sekitar menceritakan, orang-orang tersebut bahkan masih berada
di pantai saat gempa mengguncang. Peserta pesta semalam itu,
dituturkan, terkaget-kaget juga saat air pantai surut hingga jauh ke
laut. Mereka terbengong-bengong dan tak tahu apa yang terjadi.
Di
saat seperti itulah, air datang. Tapi anehnya, menurut penduduk, air
tak hanya datang dari arah laut. Air keluar dari arah makam. Air hitam,
tinggi menjulang. Dan para peserta pesta pun terkepung. Dari depan
mereka, arah laut, sebelum sempat sadar, gelombang dengan kecepatan
setara jet komersial datang menghantam. Sedangkan dari belakang, air
yang memancar tinggi, setinggi pohon kelapa dan juga bagai tembok,
panjangnya menghalangi jalan keluar.
Benarkah
cerita yang dituturkan penduduk Kreung Raya itu? Tentang air hitam yang
keluar dengan dahsyat dari areal makam? Wallahu a’lam. Yang jelas,
makam Syiah Kuala yang berusia ratusan tahun itu kini telah hilang,
nyaris tak meninggalkan bekas di tempatnya.
Keajaiban
dan karomah lain diperlihatkan lewat pemeran lain. Kali ini
hewan-hewan, bukan manusia. Sebelum gempa dan gelombang tsunami
menghantam, tanda-tanda yang disampaikan oleh alam dan hewan telah
bertebaran. Kawanan burung putih terbang berarak-arak di langit kota
Banda Aceh. Menurut kakek nenek dan orang-orang dulu, jika kawanan
burung putih melintas di atas langit, akan ada bencana yang datang dari
laut. Begitu juga jika air laut surut dengan cepat dari pantai. Orang
tua dulu telah memberikan nasihat turun-temurun, jika air surut dengan
cepat, depat-cepat lari naik ke hutan. Karena tak lama, ombak setinggi
pohon kelapa akan segera datang.
Setelah
bencana terjadi pun, keajaiban yang ditunjukkan oleh alam dan binatang
juga terjadi. Mayat-mayat yang terbengkalai di mana-mana, hingga hari
ini dikhawatirkan menimbulkan gelombang bencana susulan. Gelombang wabah
kolera.
Tapi
hingga hari ini, dua pekan lebih setelah hari bencana, belum diketahui
ada korban selamat yang terjangkit kolera. Dan ini adalah keajaiban
lain.
Keajaiban
yang lain adalah, tak ada lalat-lalat yang mengerumuni mayat yang sudah
pasti akan membantu cepatnya penyebaran virus atau bakteri kolera.
Keheranan akal ini dicermati dengan teliti oleh dr. Mastanto dari Posko
Keadilan Peduli Umat (PKPU). “Saya heran, benar-benar tidak ada lalat.
Saya tak bisa membayangkan kalau lalat-lalat ada. Kolera pasti tak
terbendung,” ujarnya.
Keajaiban
dan karomah, kebesaran dan karunia Allah memang tak pernah absen dari
kehidupan manusia. Asal kita pandai membaca tanda-tanda, kebesaran Allah
selalu ada di mana-mana. Dan seharusnya, kebesaran itu pula yang akan
membuat kepala kita kian tertunduk, hati dan jiwa kita kian mengerti
bahwa hidup tidak lain kecuali untuk beribadah. Kepada-Nya.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar