Matahari sudah mulai menunjukkan sinarnya, anak anak pecinta alam itu
tampak sibuk membersihkan tubuh masing masing di aliran anak sungai
dekat mereka mendirikan tenda. yang wanita mandi dengan kain sarung
masing masing, sedangkan yang cowok mandi di aliran bawah sungai tak
jauh dari tempat mandi cewek cewek. karena kejadian yang membuat mereka
kehilangan dua orang temannya, membuat mereka harus lebih waspada dan
tetap bersama.
Setelah semuanya selesai membersihkan badan, mereka pulang ke tenda
dan berkemas kemas untuk berpindah. Mereka menggulung semua peralatan
dan memasukkan ke dalam tas ransel besar yang disandang masing masing.
Dan tentunya akan lebih berat daripada beban sebelumnya. Sebab barang
barang milik jen dan alvian yang hilang entah kemana itu, terpaksa
mereka bagi bagikan untuk membawa.
“Baiklah, sekarang kita harus tetap melanjutkan perjalanan. Dan
tentunya perjalanan kita ini takkan seperti yang kita rencanakan
sebelumnya. Kita melanjutkan perjalanan ini hanya untuk mencari jen, dan
alvian.” Ucap dion memulai pembicaraan pada semua.
Sementara haris lebih memilih diam, memikirkan nasib kedua adik juniornya yang hilang dalam satu malam.
“Ingat, tolong jangan ada yang terpisah dari rombongan.” Ucap andika menambahkan.
“Baik kak” yang lain menjawab.
Mereka pun melanjutkan perjalanan yang belum tau entah kemana.
Dini berjalan tepat di depan haris, entah apa yang difikirkannya
tentang tatapan gerry yang mengerikan tadi malam. Tapi yang jelas, dini
tak berselera membuka mulutnya untuk berbicara.
“Aaauuhhh” dini menjerit, kakinya tergelincir menginjak batu yang berlumut.
Tapi, belum sempat terjatuh, haris sudah lebih dulu menangkap tubuh dini dipelukannya.
Rena yang berjalan di barisan keenam menoleh hanya sebentar. Sakit…
Itulah yang dirasakan reena, reena adalah mantan pacar haris dua tahun
lalu. Terpaksa putus di tengah jalan, karena haris yang merasa minder
berpacaran dengan reena yang ternyata anak pengusaha kaya yang cukup
sukses. Sebenarnya reena masih mencintai pria itu, tapi sepertinya haris
tak mungkin dapat melanjutkan hubungannya dengan reena. Dikarenakan
ayah reena pernah menyindir haris yang hanya seorang anak pengusaha
kecil kecilan dari desa. Haris tak pernah memberi tahu reena tentang
ucapan ayah reena itu, haris tak mau reena jadi anak pembangkang pada
orangtuanya, hanya karena seorang haris yang belum jelas masa depannya.
Reena lalu berjalan dengan cepat, tanpa mempedulikan teman-temannya di belakang.
Vana, andika dan hansen ternyata melihat mimik wajah sendu reena.
Mereka bertiga lalu menyusul reena yang telah lebih dulu berjalan ke
depan.
“Ree, tungguin napa sih? Cepat amat jalannya,” teriak hansen mengejar
reena yang semakin jauh berjalan dan disusul oleh vana dan andika.
“Haris gak ngerti perasaan aku sen, dua tahun setelah dia mutusin
aku, aku gak pernah sedikitpun mencoba melupakannya.” Airmata reena tak
terasa mengalir begitu saja.
“Sudahlah ree, jangan begitu. Kita ini lagi dalam masalah, mendingan
kamu berfikir yang positif aja, jangan begini.” Sambung andika yang tau
persis tentang hubungan garis dan reena di masa lalu.
“Kita istirahat aja sebentar, sambil nunggu yang lain.” Vana menurunkan ransel dari punggungnya.
Setelah semua rombongan dapat menyusul reena dan yang lainnya. Mereka
pun kembali memulai perjalanan. Dan yang semakin membuat reena sakit,
haris menggendong dini karena kaki dini keseleo.
“Benar benar sakittt” Batin reena menahan airmatanya.
Sebenarnya, bukannya haris tak mengerti isi hati reena, haris pun tak
dapat memungkiri kalau hatinya masih menginginkan reena. Tapi sudahlah,
kalau memang jodoh, pasti kan jodoh juga.
Tapi sekarang hati haris bagaikan terhipnotis oleh kehadiran dini. Haris
juga belum tau persis soal perasaannya pada dini. yang terpanting
sekarang adalah menemukan jen dan alvian. Lalu membawa rombongannya
pulang. Soal cinta cintaan bisa diurus nanti setelah pulang ke kota.
Perjalanan sudah semakin jauh ke dalam hutan, tak henti hentinya
mereka meneriakkan nama jen dan alvian. Langit kembali tampak mendung,
membuat mereka berhenti dan terpaksa kembali membangun tenda.
“Ayo buruan, hujan udah mau turun. Cepatan pasang tenda masing masing” ucap haris pada rombongannya. Semua tampak sibuk.
Pas… Waktunya benar benar tepat sekali. Begitu tenda siap didirikan, hujan pun kembali turun.
Di dalam tenda milik gerry dan ivan, kini diisi oleh hansen sebagai
pengganti alvian. Mereka tetap menempati satu tenda dengan tiga orang.
“Gerry… Semenjak keberangkatan kita kemaren, ku lihat kau seperti
orang bingung. Suka melamun dan hilang begitu saja.” Hansen menatap
gerry yang memang seperti sedang berfikir panjang.
“Oh.. Ia, aku memang sedang bingung.” Jawab gerry dengan ekspresi tak berubah.
“Ada apa memang?” Hansen kembali bertanya.
“Aku sedang berfikir tentang rencanaku”
“Oh ya? Rencana apaan itu?” kini ivan yang bertanya penuh selidik.
“Ah.. Tidak, hanya rencana kecil setelah keluar dari hutan ini” jawab gerry dengan wajah yang kini tampak gugup.
Hansen dan ivan hanya mengangkat bahu sembari membaringkan diri. Di
derasnya hujan siang itu, dini keluar dari tenda mengenakan topi putih
yang dibawanya dari rumah.
“Regina, gua kebelet pipis nih,” ucap dini dan berlari menempuh hujan deras.
Tanpa sepengetahuan dini, ternyata gerry juga keluar dari tenda dan
melihat dini yang berlari ke tengah hutan. Gerry buru buru mengikuti
jejak dini.
“Kak reena, mana kak reena?” Putri terkejut melihat reena tak ada di dalam tenda.
“Mel, mela, bangun. Kak reena gak ada di tenda” putri membangunkan mela yang masih tidur enak.
“Ah.. Paling juga pergi ke luar,” jawab mela sambil mengucek matanya yang masih ngantuk.
“Aaahhhh… Tolong…” Terdengar teriakan dari dalam hutan, membangunkan
semua yang tertidur di dalam tenda. Semua buru buru keluar dan mencari
sumber suara itu.
“Reena…” Teriak haris melihat reena berlari ketakutan bak dikejar
setan. Haris berlari mendekati reena yang tampak kesulitan untuk
berlari.
“Kamu kenapa?” Tanya haris dan segera membopong tubuh reena.
Semua terkejut menahan nafas melihat keadaan reena, kaki dan tangan
reena penuh dengan darah. Wajah reena juga terluka, seperti sayatan
benda tajam.
Tak lama setelah reena pulang dengan penuh darah, kembali terdengar rintihan minta tolong tak jauh dari tenda.
Dini.. Yah itu dini. Dion menemukan dini terbaring lemah di rerumputan sebelah kiri tenda.
“Dini.. Kau juga terluka?” Tanya andika melihat dion membopong tubuh
dini. Tubuh dini juga tak jauh beda dengan reena. Kepalanya mengeluarkan
darah.
“Cepat ambil P3K di ranselku.” Teriak anissa pada dita. Dita berlari mengambilkan P3K yang diminta oleh anissa.
Di tengah sibuknya para anggota pecinta alam menolong reena dan dini
yang terluka. Gerry mengendap endap masuk ke dalam tenda dan buru buru
mengganti pakaiannya yang kena bercakan darah.
“Sebenarnya ada apa ini? Kemarin dua orang teman kita hilang, dan
sampai sekarang belum ditemukan. Hari ini, dua wanita juga terluka”
haris mulai bicara saat dini dan reena mulai membaik.
“Tadi.. Tadi aku dikejar sama orang berjubah hitam, persis seperti
yang mengejar dini kemarin.” Reena mulai menerangkan kejadiannya.
“Ahh… Kak reena juga melihat orang itu?” Tanya dini dengan wajah kaget seperti tak percaya.
“Ia, dia mencoba membunuh ku dengan sabit besar yang dibawanya” jawab reena di iringi airmata.
“Dini juga kak, tadi dini juga hampir dibunuh pakai sabit itu. Untung
dini bisa kabur, lalu terjatuh tepat di dekat tenda” dini menerangkan
pengalamannya dan disambut pelukan oleh mela.
“Tapi apa tujuan orang itu membuat teka teki seperti ini?” Hansen angkat bicara.
“Mungkin saja dendam, atau mungkin juga karena dia memang pembunuh” gerry yang selama ini pendiam tiba tiba angkat bicara.
Semua mata tertuju pada gerry.
“Dendam? Apa yang didendamkan pada kita? Bukankah kita belum pernah
masuk ke hutan ini?” Haris bertanya penuh selidik menatap gerry.
“Aku juga belum tau pasti kak. Aku hanya menebak, dan mungkin dia
juga orang yang kita kenal.” Jawab gerry mantap dan melayangkan padangan
menyeramkan ke arah dini.
Dini tak sanggup membalas tatapan mata itu, tatapan yang beberapa
hari ini seperti ingin mengelurkan bola mata dini. Dini hanya mampu
tertunduk, takut kalau gerry tetap menatapnya.
Dan benar, saat dini mengangkat wajahnya, sebuah seringai nampak di wajah gerry.
Dini kembali tertunduk tak berani menatap, dan tak berani mengatakan kepada teman temannya.
“Hari masih terlalu siang, ayo kita mencoba mencari jen dan alvian.
Dion, gerry, hansen. Kalian tetap disini menemani para wanita. Biar aku,
andika, ivan, dan dennis yang mencari ke dalam hutan.” Haris memberi
tugas.
Haris membawa ketiga pria itu mencari temannya yang hilang.
“Jangan berpencar, kita tetap satu perjalanan.” Haris tetap memperingatkan.
Tak henti hentinya mereka berempat berteriak mamanggil nama jen dan alvian.
Sssrreeekkk… Terdengar sesuatu menyentuh dedaunan kering di balik
semak. Ivan yang berada di urutan paling belakang mencoba memeriksa arah
suara itu. Semakin diikutinya suara itu, semakin jauh pula ivan
melangkah.
“Kau… Hey jangan lari kau.” Teriak ivan melihat seseorang berjubah
hitam berlari ke balik batang kayu. Haris mengejar orang itu dan
berteriak memanggil temannya yang sudah jauh.
“Kak haris, kak andika.. Denis.. Aku menemukan orang berjubah hitam itu..” Teriak ivan tetap berlari mengejar orang di depannya.
“Ivan.. Ayo ivan menemukan orang itu. Ayo cepat denis, andika..” Ajak haris pada kedua temannya dan berlari ke belakang.
“Ayo cepat, ivan tak mungkin bisa melawannya sendirian”
Haris terus berlari dan berteriak mengajak kedua temannya.
Ivan terus berlari dan tiba tiba…
“Aaauu”
Ivan tersandung akar kayu dan terjatuh. Sosok berjubah hitam itu lalu kembali dan
Prraaakkk…
Kepala ivan dipukul dengan kayu sabit oleh sosok berjubah hitam itu.
Ivan pingsan seketika dan segera dibopong oleh sosok berjubah hitam itu.
Haris dan yang lainnya tak menemukan ivan, suara ivan pun sudah tak
terdengar oleh mereka. Haris semakin benci pada dirinya, dia merasa
dirinya tak bertanggung jawab. Kini ivan pun ikut menghilang.
Di tempat lain di sebuah gubuk, ivan membuka matanya perlahan lahan.
“Ah.. Dimana aku?” Ivan berusaha menyadarkan dirinya.
“Oh tidak,”
Tangan haris terikat pada sebuah tiang penyangga gubuk itu.
“Woiii, lepasin gue. Siapa yang ngikat gue?”
Ivan berteriak memanggil manggil, berharap ada yang mendengar suaranya.
Ivan memandangi gubuk yang berukuran lumayan besar itu.
“Tidakkk…” Ivan menjerit histeris melihat tubuh jen, dan alvin
terbujur kaku tak jauh dari tempatnya diikat. Ivan menangis dan
menjerit. Tapi sayang, temannya tak dapat mendengar jeritannya.
“Kau juga harus mati seperti teman temanmu itu.” Suara datar seorang
pria menghentikan terikan ivan. Dari balik pintu gubuk tua itu, seorang
dengan pakaian serbah hitam muncul. Wajah sosok itu tak dapat dilihat
oleh ivan. Sehelai kain menutup semua bagian sosok itu.
“Lepaskan aku bajingan,” Ivan menantang sosok di depan pintu.
“Ahahahahaha” Hanya suara tawanya yang menandakan bahwa dia seorang pria.
“Apa maumu? Cepat lepasin. Atau kubunuh kau” Ancam ivan pada sosoj itu, dan…
Srrreeekkk… Benda tajam berbentuk sabit di tangan sosok itu pun mendarat di wajah ivan.
Buukkk..
Kali ini, tinjulah yang mengenai tengkuk ivan. Ivan pun kembali pingsan.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar