Pages

Sabtu, 24 Mei 2014

dark rain (part 2)

Matahari sudah mulai menunjukkan sinarnya, anak anak pecinta alam itu tampak sibuk membersihkan tubuh masing masing di aliran anak sungai dekat mereka mendirikan tenda. yang wanita mandi dengan kain sarung masing masing, sedangkan yang cowok mandi di aliran bawah sungai tak jauh dari tempat mandi cewek cewek. karena kejadian yang membuat mereka kehilangan dua orang temannya, membuat mereka harus lebih waspada dan tetap bersama.
Setelah semuanya selesai membersihkan badan, mereka pulang ke tenda dan berkemas kemas untuk berpindah. Mereka menggulung semua peralatan dan memasukkan ke dalam tas ransel besar yang disandang masing masing. Dan tentunya akan lebih berat daripada beban sebelumnya. Sebab barang barang milik jen dan alvian yang hilang entah kemana itu, terpaksa mereka bagi bagikan untuk membawa.
“Baiklah, sekarang kita harus tetap melanjutkan perjalanan. Dan tentunya perjalanan kita ini takkan seperti yang kita rencanakan sebelumnya. Kita melanjutkan perjalanan ini hanya untuk mencari jen, dan alvian.” Ucap dion memulai pembicaraan pada semua.
Sementara haris lebih memilih diam, memikirkan nasib kedua adik juniornya yang hilang dalam satu malam.
“Ingat, tolong jangan ada yang terpisah dari rombongan.” Ucap andika menambahkan.
“Baik kak” yang lain menjawab.
Mereka pun melanjutkan perjalanan yang belum tau entah kemana.
Dini berjalan tepat di depan haris, entah apa yang difikirkannya tentang tatapan gerry yang mengerikan tadi malam. Tapi yang jelas, dini tak berselera membuka mulutnya untuk berbicara.
“Aaauuhhh” dini menjerit, kakinya tergelincir menginjak batu yang berlumut.
Tapi, belum sempat terjatuh, haris sudah lebih dulu menangkap tubuh dini dipelukannya.
Rena yang berjalan di barisan keenam menoleh hanya sebentar. Sakit… Itulah yang dirasakan reena, reena adalah mantan pacar haris dua tahun lalu. Terpaksa putus di tengah jalan, karena haris yang merasa minder berpacaran dengan reena yang ternyata anak pengusaha kaya yang cukup sukses. Sebenarnya reena masih mencintai pria itu, tapi sepertinya haris tak mungkin dapat melanjutkan hubungannya dengan reena. Dikarenakan ayah reena pernah menyindir haris yang hanya seorang anak pengusaha kecil kecilan dari desa. Haris tak pernah memberi tahu reena tentang ucapan ayah reena itu, haris tak mau reena jadi anak pembangkang pada orangtuanya, hanya karena seorang haris yang belum jelas masa depannya.
Reena lalu berjalan dengan cepat, tanpa mempedulikan teman-temannya di belakang.
Vana, andika dan hansen ternyata melihat mimik wajah sendu reena. Mereka bertiga lalu menyusul reena yang telah lebih dulu berjalan ke depan.
“Ree, tungguin napa sih? Cepat amat jalannya,” teriak hansen mengejar reena yang semakin jauh berjalan dan disusul oleh vana dan andika.
“Haris gak ngerti perasaan aku sen, dua tahun setelah dia mutusin aku, aku gak pernah sedikitpun mencoba melupakannya.” Airmata reena tak terasa mengalir begitu saja.
“Sudahlah ree, jangan begitu. Kita ini lagi dalam masalah, mendingan kamu berfikir yang positif aja, jangan begini.” Sambung andika yang tau persis tentang hubungan garis dan reena di masa lalu.
“Kita istirahat aja sebentar, sambil nunggu yang lain.” Vana menurunkan ransel dari punggungnya.
Setelah semua rombongan dapat menyusul reena dan yang lainnya. Mereka pun kembali memulai perjalanan. Dan yang semakin membuat reena sakit, haris menggendong dini karena kaki dini keseleo.
“Benar benar sakittt” Batin reena menahan airmatanya.
Sebenarnya, bukannya haris tak mengerti isi hati reena, haris pun tak dapat memungkiri kalau hatinya masih menginginkan reena. Tapi sudahlah, kalau memang jodoh, pasti kan jodoh juga.
Tapi sekarang hati haris bagaikan terhipnotis oleh kehadiran dini. Haris juga belum tau persis soal perasaannya pada dini. yang terpanting sekarang adalah menemukan jen dan alvian. Lalu membawa rombongannya pulang. Soal cinta cintaan bisa diurus nanti setelah pulang ke kota.
Perjalanan sudah semakin jauh ke dalam hutan, tak henti hentinya mereka meneriakkan nama jen dan alvian. Langit kembali tampak mendung, membuat mereka berhenti dan terpaksa kembali membangun tenda.
“Ayo buruan, hujan udah mau turun. Cepatan pasang tenda masing masing” ucap haris pada rombongannya. Semua tampak sibuk.
Pas… Waktunya benar benar tepat sekali. Begitu tenda siap didirikan, hujan pun kembali turun.
Di dalam tenda milik gerry dan ivan, kini diisi oleh hansen sebagai pengganti alvian. Mereka tetap menempati satu tenda dengan tiga orang.
“Gerry… Semenjak keberangkatan kita kemaren, ku lihat kau seperti orang bingung. Suka melamun dan hilang begitu saja.” Hansen menatap gerry yang memang seperti sedang berfikir panjang.
“Oh.. Ia, aku memang sedang bingung.” Jawab gerry dengan ekspresi tak berubah.
“Ada apa memang?” Hansen kembali bertanya.
“Aku sedang berfikir tentang rencanaku”
“Oh ya? Rencana apaan itu?” kini ivan yang bertanya penuh selidik.
“Ah.. Tidak, hanya rencana kecil setelah keluar dari hutan ini” jawab gerry dengan wajah yang kini tampak gugup.
Hansen dan ivan hanya mengangkat bahu sembari membaringkan diri. Di derasnya hujan siang itu, dini keluar dari tenda mengenakan topi putih yang dibawanya dari rumah.
“Regina, gua kebelet pipis nih,” ucap dini dan berlari menempuh hujan deras.
Tanpa sepengetahuan dini, ternyata gerry juga keluar dari tenda dan melihat dini yang berlari ke tengah hutan. Gerry buru buru mengikuti jejak dini.
“Kak reena, mana kak reena?” Putri terkejut melihat reena tak ada di dalam tenda.
“Mel, mela, bangun. Kak reena gak ada di tenda” putri membangunkan mela yang masih tidur enak.
“Ah.. Paling juga pergi ke luar,” jawab mela sambil mengucek matanya yang masih ngantuk.
“Aaahhhh… Tolong…” Terdengar teriakan dari dalam hutan, membangunkan semua yang tertidur di dalam tenda. Semua buru buru keluar dan mencari sumber suara itu.
“Reena…” Teriak haris melihat reena berlari ketakutan bak dikejar setan. Haris berlari mendekati reena yang tampak kesulitan untuk berlari.
“Kamu kenapa?” Tanya haris dan segera membopong tubuh reena.
Semua terkejut menahan nafas melihat keadaan reena, kaki dan tangan reena penuh dengan darah. Wajah reena juga terluka, seperti sayatan benda tajam.
Tak lama setelah reena pulang dengan penuh darah, kembali terdengar rintihan minta tolong tak jauh dari tenda.
Dini.. Yah itu dini. Dion menemukan dini terbaring lemah di rerumputan sebelah kiri tenda.
“Dini.. Kau juga terluka?” Tanya andika melihat dion membopong tubuh dini. Tubuh dini juga tak jauh beda dengan reena. Kepalanya mengeluarkan darah.
“Cepat ambil P3K di ranselku.” Teriak anissa pada dita. Dita berlari mengambilkan P3K yang diminta oleh anissa.
Di tengah sibuknya para anggota pecinta alam menolong reena dan dini yang terluka. Gerry mengendap endap masuk ke dalam tenda dan buru buru mengganti pakaiannya yang kena bercakan darah.
“Sebenarnya ada apa ini? Kemarin dua orang teman kita hilang, dan sampai sekarang belum ditemukan. Hari ini, dua wanita juga terluka” haris mulai bicara saat dini dan reena mulai membaik.
“Tadi.. Tadi aku dikejar sama orang berjubah hitam, persis seperti yang mengejar dini kemarin.” Reena mulai menerangkan kejadiannya.
“Ahh… Kak reena juga melihat orang itu?” Tanya dini dengan wajah kaget seperti tak percaya.
“Ia, dia mencoba membunuh ku dengan sabit besar yang dibawanya” jawab reena di iringi airmata.
“Dini juga kak, tadi dini juga hampir dibunuh pakai sabit itu. Untung dini bisa kabur, lalu terjatuh tepat di dekat tenda” dini menerangkan pengalamannya dan disambut pelukan oleh mela.
“Tapi apa tujuan orang itu membuat teka teki seperti ini?” Hansen angkat bicara.
“Mungkin saja dendam, atau mungkin juga karena dia memang pembunuh” gerry yang selama ini pendiam tiba tiba angkat bicara.
Semua mata tertuju pada gerry.
“Dendam? Apa yang didendamkan pada kita? Bukankah kita belum pernah masuk ke hutan ini?” Haris bertanya penuh selidik menatap gerry.
“Aku juga belum tau pasti kak. Aku hanya menebak, dan mungkin dia juga orang yang kita kenal.” Jawab gerry mantap dan melayangkan padangan menyeramkan ke arah dini.
Dini tak sanggup membalas tatapan mata itu, tatapan yang beberapa hari ini seperti ingin mengelurkan bola mata dini. Dini hanya mampu tertunduk, takut kalau gerry tetap menatapnya.
Dan benar, saat dini mengangkat wajahnya, sebuah seringai nampak di wajah gerry.
Dini kembali tertunduk tak berani menatap, dan tak berani mengatakan kepada teman temannya.
“Hari masih terlalu siang, ayo kita mencoba mencari jen dan alvian. Dion, gerry, hansen. Kalian tetap disini menemani para wanita. Biar aku, andika, ivan, dan dennis yang mencari ke dalam hutan.” Haris memberi tugas.
Haris membawa ketiga pria itu mencari temannya yang hilang.
“Jangan berpencar, kita tetap satu perjalanan.” Haris tetap memperingatkan.
Tak henti hentinya mereka berempat berteriak mamanggil nama jen dan alvian.
Sssrreeekkk… Terdengar sesuatu menyentuh dedaunan kering di balik semak. Ivan yang berada di urutan paling belakang mencoba memeriksa arah suara itu. Semakin diikutinya suara itu, semakin jauh pula ivan melangkah.
“Kau… Hey jangan lari kau.” Teriak ivan melihat seseorang berjubah hitam berlari ke balik batang kayu. Haris mengejar orang itu dan berteriak memanggil temannya yang sudah jauh.
“Kak haris, kak andika.. Denis.. Aku menemukan orang berjubah hitam itu..” Teriak ivan tetap berlari mengejar orang di depannya.
“Ivan.. Ayo ivan menemukan orang itu. Ayo cepat denis, andika..” Ajak haris pada kedua temannya dan berlari ke belakang.
“Ayo cepat, ivan tak mungkin bisa melawannya sendirian”
Haris terus berlari dan berteriak mengajak kedua temannya.
Ivan terus berlari dan tiba tiba…
“Aaauu”
Ivan tersandung akar kayu dan terjatuh. Sosok berjubah hitam itu lalu kembali dan
Prraaakkk…
Kepala ivan dipukul dengan kayu sabit oleh sosok berjubah hitam itu. Ivan pingsan seketika dan segera dibopong oleh sosok berjubah hitam itu.
Haris dan yang lainnya tak menemukan ivan, suara ivan pun sudah tak terdengar oleh mereka. Haris semakin benci pada dirinya, dia merasa dirinya tak bertanggung jawab. Kini ivan pun ikut menghilang.
Di tempat lain di sebuah gubuk, ivan membuka matanya perlahan lahan.
“Ah.. Dimana aku?” Ivan berusaha menyadarkan dirinya.
“Oh tidak,”
Tangan haris terikat pada sebuah tiang penyangga gubuk itu.
“Woiii, lepasin gue. Siapa yang ngikat gue?”
Ivan berteriak memanggil manggil, berharap ada yang mendengar suaranya.
Ivan memandangi gubuk yang berukuran lumayan besar itu.
“Tidakkk…” Ivan menjerit histeris melihat tubuh jen, dan alvin terbujur kaku tak jauh dari tempatnya diikat. Ivan menangis dan menjerit. Tapi sayang, temannya tak dapat mendengar jeritannya.
“Kau juga harus mati seperti teman temanmu itu.” Suara datar seorang pria menghentikan terikan ivan. Dari balik pintu gubuk tua itu, seorang dengan pakaian serbah hitam muncul. Wajah sosok itu tak dapat dilihat oleh ivan. Sehelai kain menutup semua bagian sosok itu.
“Lepaskan aku bajingan,” Ivan menantang sosok di depan pintu.
“Ahahahahaha” Hanya suara tawanya yang menandakan bahwa dia seorang pria.
“Apa maumu? Cepat lepasin. Atau kubunuh kau” Ancam ivan pada sosoj itu, dan…
Srrreeekkk… Benda tajam berbentuk sabit di tangan sosok itu pun mendarat di wajah ivan.
Buukkk..
Kali ini, tinjulah yang mengenai tengkuk ivan. Ivan pun kembali pingsan.

0 komentar:

Posting Komentar

 

Fans