idak hanya sekedar “Beautiful”, tapi “Pretty.” Zahra perempuan 25
tahun ini tidak hanya sekedar cantik, tapi dia mempunyai hampir semua
yang ingin dimiliki oleh kaum hawa. Hampir semua orang yang melihat
Zahra akan mengatakan “dia cantik yaa…” kepada teman di sampingnya, atau
hanya di hati saja. Sebuah pujian alami yang reflek akan keluar dari
hati orang yang melihatnya. Matanya bulat, hitam, kelopak mata yang
proporsional, dibingkai dengan kedua alis “naggal sepisan” seperti kata
orang jawa. Tatapanya teduh memancarkan keanggunan, membuat orang nyaman
melihatnya, tetapi juga tajam memancarkan kewibawaan. Wajah putih dan
pipi yang kemerah-merahan, bibir yang merah tipis, di atasnya ada hidung
yang tidak terlalu mancung, tapi sama sekali tidak pesek. Semuanya itu
dibingkai dengan selembar jilbab warna agak gelap, membuat warna
kulitnya terlihat semakin cerah. Cantik sekali. Hanya satu kekurangan
yang tidak ia sukai, tapi kebanyakan laki-laki justru menyukai
kekurangan itu, Zahra gadis berkacamata.
Kecantikan gadis ini tidak hanya terpancar dari kulitnya saja, tapi
juga terpancar dari hatinya. Tidak hanya wajahnya saja yang cantik, tapi
akhlaknya pun lebih cantik lagi. Intelektualitas yang tinggi, tutur
kata yang santun, sosok yang penyayang, dan kelembutan hatinya membuat
Zahra menjadi dosen yang diidolakan oleh para mahasiswinya, terlebih
lagi para mahasiswanya.
Ada satu lagi kelebihan Zahra, dia tidak menganggap kelebihan yang ia
miliki itu sebagai kelebihan, tapi ia anggap sebagai titipan, yang bisa
diubah, diambil, dan diganti oleh pemiliknya. Sikap seperti itulah yang
membuat Zahra memilih calon teman hidup yang sederhana, bahkan terlalu
sederhana jika dibandingkan dengan dirinya. Sebulan yang lalu, Fatih,
seorang pelayan di sebuah kedai buku memberanikan diri untuk melamar
gadis cantik putri guru besar salah satu Universitas ternama di Jogja
itu. Fatih menyadari kekurangan yang ia miliki, tapi itu tidak
membuatnya minder dan menjadikannya pengecut. Dia bukan dari keluarga
terhormat seperti keluarga Zahra, orangtuanya hanya penjual nasi goreng,
sehingga mereka hanya sanggup menyekolahkan Fatih sampai tingkat SMA.
Fatih pun bukan pemuda yang tampan, tapi gaya berpakaian yang rapi
membuat Fatih terlihat berwibawa. Terlebih lagi Fatih memiliki pemahaman
agama yang tinggi, sosok yang sopan dan santun, lembut, dan menjaga
kehormatan. Itulah faktor X yang dimilikinya, sehingga gadis sebaik
Zahra mau menerima lamarannya.
Sempat Ibunda Zahra tidak setuju jika anak gadisnya itu akan menikah
dengan seorang pemuda yang belum tentu bisa menjamin kebutuhan materi
untuk keluarga. Kedua kakak Zahra pun setengah hati memberikan izin
kepada Zahra.
“Nduk.. apa kamu yakin menikah dengan nak Fatih? masih banyak lho pemuda
yang lebih mapan, lebih ganteng, dan lebih baik dari dia yang mau sama
kamu..” bujuk Ibundanya, ia berharap Zahra mau mengubah keputusannya.
“Zahra tidak ingin mengubah keputusan Zahra buk, pekerjaan, harta, dan
fisik tidak menjadi prioritas utama buat Zahra, yang penting Fatih
sanggup menjadi suami yang soleh, bertanggung jawab, setia, dan bisa
memimpin keluarga. Kalo masalah biaya rumah tangga kan Zahra juga bisa
bantu, Zahra kan juga punya pekerjaan bu..” Zahra meyakinkan Ibundanya
dengan bijak.
“Ya sudah kalo itu keputusanmu nduk, ibu sih cuma mengingatkan saja
supaya kamu tidak menyesal nantinya.. Ibundanya memberikan wejangan
untuk Zahra dengan ketus.
“Iya bu… InsyaAllah Zahra tidak akan menyesal dengan pilihan Zahra…”
Tidak kalah dengan Ibundanya, kakak kakak dan saudara Zahra pun tidak
mendukung Zahra dan Fatih. Mereka lebih banyak meragukan Fatih. Hal itu
bisa dibilang lumrah, karena keluarga Zahra adalah keluarga terhormat
berdarah biru. Bahkan di antara mereka ada yang kekeuh mencarikan jodoh
yang sebanding untuk Zahra ketika ia sudah dalam pinangan Fatih.
“Bukanya kakak itu mau mengatur hidup kamu dek… tapi kakak Cuma ingin
melihat kamu nanti hidup bahagia dan kecukupan kayak kakak ini lho..
kamu tau to hidup kakak itu enak, kecukupan, ndak susah..” Kak Rian
mencoba menasehati Zahra.
Begitu juga dengan kakak-kakak Zahra yang lain, saudara-saudara,
tetangga, bahkan sahabat-sahabat Zahra juga menyarankan Zahra untuk
mencari pendamping hidup selain Fatih. Tapi Zahra tetap pada
pendirianya. Fatih memang bukan lelaki idaman wanita-wanita yang lainya.
Tetapi karena kemuliaan akhlaq dan hatinya, dia menjadi istimewa di
mata Zahra.
Tepat sebulan setelah lamaran, akhirnya Zahra dan Fatih melangsungkan
pernikahan. Mereka manjalani kehidupan dengan penuh kesederhanaan,
cinta, dan kasih sayang. Mereka tak pernah menghiraukan ejekan, celaan,
atau omongan-omongan orang lain. Yang ada hanya rumah tangga sederhana
yang bahagia, penuh berkah, dan penuh ketentraman.
Namun roda kehidupan tak pernah berhenti berputar. Siang itu Zahra
mengendarai motor sendiri ke kampus untuk mengajar. Kebetulan saat itu
Fatih tidak mengantarnya karena ada kesibukan di kedai buku. Nasib yang
malang menimpa Zahra. Zahra hendak membeli bensin di SPBU yang letaknya
di seberang jalan. Otomatis dia harus menyebrang jalan raya. Tepat di
tengah-tengah saat Zahra memotong jalan, bus Pariwisata “Wisata Indah”
melaju dengan kencang. Tanpa ampun bus itu menabrak Zahra. Lalu lintas
jalanan saat itu sangat ramai, sehingga supir bus tidak melihat Zahra
yang sedang menyebrang. Zahra tertabrak dan terlempar ke sisi jalan
sebelah kiri. Tragisnya, mobil Carry hijau ternyata sedang berjalan
lambat, Zahra terlempar tepat di depan mobil itu. Sopir mobil terkejut,
bukannya menginjak rem, tetapi dia justru menginjak gas. Dengan
kecepatan tinggi, ban mobil itu menindas kaki dan tangan kanan Zahra.
Zahra tak sadarkan diri, dari kepala, tangan dan kakinya mengucur darah
yang sangat banyak. Tidak lama kemudian, Zahra sudah berada di atas
ranjang putih, lengkap dengan semua alat medis yang terpasang di hidung,
lengan, kepala, dan kaki.
Keluarga Zahra, terlebih Fatih, kaget bukan kepalang mendengar kabar
naas yang menimpa Zahra. Dokter tak mampu menyelamatkan kaki dan tangan
Zahra yang patah di beberapa bagian, akhirnya kaki dan tangan kanan
Zahra terpaksa diamputasi. Muka Zahra yang tadinya bak bidadari,
sekarang sudah tidak ada lagi, yang ada hanya muka yang penuh luka dan
Jahitan. Tak cantik lagi. Zahra yang semula menjadi wanita yang hampir
mendekati sempurna, sekarang menjadi wanita yang penuh dengan
kekurangan.
Perubahan yang begitu drastis yang menimpa Zahra membuat ia down.
Zahra tidak suka dijenguk teman, saudara, dan orang lain. Ia merasa
malu, dan khawatir jika mereka justru akan mengejek dan mencemoohnya.
Zahra tak banyak berbicara, kalimat yang sering ia ucapkan kepada orang
di sekelilingnya justru “Aku sedang ingin sendiri”. Perasaan zahra tak
karuan, dia takut suami yang sangat ia cintai tidak bisa menerima
keadaanya sekarang. Zahra merasa dia tidak ada gunanya lagi, hanya akan
merepotkan dan menjadi bebab bagi suami. Zahra takut suaminya akan
meninggalkannya.
Tapi ketakutan Zahra itu tidak menjadi kenyataan. Orang-orang yang
semula meragukan Fatih, sekarang mereka baru menyadari kelebihan yang
Fatih miliki. Dengan sabar, penuh kasih sayang, dan penuh perhatian,
Fatih merawat Zahra. Ia selalu menguatkan hati Zahra yang sempat hancur.
Tak ada sedikitpun rasa kecewa dan malu dalam diri Fatih memiliki istri
yang penuh dengan kekurangan. Saat ini, Fatihlah yang menjadi kaki
Zahra ketika ia ingin berjalan, Fatihlah yang menjadi tangan Zahra
ketika ia ingin mengambil sesuatu, Fatihlah yang mejadi mata Zahra
ketika ia ingin melihat sesuatu dengan jelas. Ya, benturan keras yang
mengenai kepala Zahra membuat pengelihatan Zahra menjadi terganggu.
Fatihlah yang akan menemani si malang Zahra hingga berpuluh-puluh tahun
kedepan.
Di balik musibah yang menyedihkan, selalu ada hikmah yang tersimpan.
Keluarga, saudara, dan sahabat-sahabat Zahra akhirnya menyadari bahwa
keputusan Zahra memilih Fatih adalah keputusan yang baik.
“Maafkan Ibu nak, dulu Ibu tidak yakin Fatih bisa menjadi suami yang
membahagiakan kamu, tapi setelah kejadian ini, Ibu sadar, Fatih adalah
suami yang luar biasa, yang tidak mudah ditemukan… kamu tidak salah
memilih Fatih menjadi suamimu.” Ibunda Zahra memeluk anaknya sambil
meneteskan air mata, begitu juga kakak-kakak Zahra.
Dengan tersenyum ia menjawab
“Zahra tidak memilih Fatih bu, tapi Zahra memilih hatinya…”
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar