Uuuum, yeah. Harum sekaliii. Kalau ini film kartun, pasti aku sudah melayang sambil ngendus bau ini. Laparrr!!!
“Morning, sweetheart!” kudengar suaranya.
“Harum banget deh. Masak apa nih? Insting heroku kayanya tau deh. Mmm, nasi goreng. I know that! Laperrr…”
“Oke, sweetheart. Siap bertempur? Let’s go!” ini dia super hero yang selalu bikin pagi itu terasa so dramatic.
“Siap! Piring, sendok, garpu dan gelas siap di posnya, Captain!” dia tertawa. Aku ikut tertawa.
Indahnya pagi ini. Ini dia super heroku. Pahlawan dari semua
pahlawan. Hanya dia yang bisa membuat sarapan menjadi tempat latihan
tempur. Hanya dia yang mampu membuatku tertawa seperti hari ini setelah
sekian lama. Hanya dia yang mampu menjadi seorang ibu merangkap ayah
yang sempurna. Hanya dia yang mengerti apa yang buah hatinya rasakan.
Andai waktu bisa berhenti saat ini juga, aku akan jadi orang paling
bahagia di dunia. Tentu saja itu andai. Tapi hanya dengan merasakan pagi
ini di setiap pagi berikutnya, aku akan jadi orang yang paling
bersyukur di dunia ini. Walau aku tahu, esok pagi, pagi yang terjadi
hari ini akan sangat ku rindukan.
“Kamu jaga diri ya, sweetheart. Mama akan rajin ngehubungin kamu.
Kalau ada apa-apa langsung hubungin mama ya. Mama udah telfon Tante
Hena. Dia yang bakal jemput kamu di airport. Kalau kamu udah sampai
langsung kabarin mama. Pokoknya kamu harus jaga diri. Jangan sampai…”
“Iya, ma.. Aku gak bakal telat makan atau pun kecapekan. Mama udah
ngulang kalimat itu puluhan kali sejak seminggu yang lalu. Aku inget kok
ma,” sambil ku rapikan celanaku. Kulipat ujungnya dan ku rapikan tali
sepatu putih ini. Ku tegakkan badanku. Dan saat itu aku melihatnya. Ada
butiran air di pipinya. Dia memelukku.
“Mama khawatir sama kamu, Mika. Kamu satu-satunya yang mama punya. Dan
sekarang mama harus pisah sama kamu. Tempat kamu itu jauh. Bukan kayak
kita pergi ke kampung. Mama sayang sama kamu…” semakin basah kemeja yang
ku kenakan. Perasaan bersalah menyelinap. Menimbulkan rasa sesak di
dada.
“Iya ma. Aku juga sayang sama mama. Bukannya kita udah bahas ini?
Pelatihan ini cuma 3 bulan. Di sana pun aku bakal tinggal sama Tante
Hena, kan? Mama gak perlu khawatir. Tante Hena pasti bakal ngejagain
aku.” Jawabku melembut. Takut kalau-kalau salah kata akan membuat dia
semakin menangis.
…and welcome to Bandung. Suara pramugari itu membuat aku deg-degan.
Rasanya gak sabar untuk memulai pelatihannya. Atau lebih tepat dibilang
magang. Aku akan jadi tour guide selama 3 bulan di kota kembang ini.
Sebagai syarat untuk lulus dari SMK ku. Hal ini yang sudah sebulan ini
jadi bahan perdebatan aku dan dia. Sampai akhirnya dia nyerah dan
merelakan aku pergi.
Hari-hari pertama di kota ini terasa asing. Aku masih canggung dalam
menuntun para turis. Dan aku masih belum terbiasa dengan suasana sepi di
rumah Tante Hena. Maklum, Tante Hena adalah businesswoman yang lagi
bersinar karirnya. Jadi jarang pulang sebelum jam 10 malam. Dan
seringnya aku sudah tidur saat tante pulang. Bertatap muka di pagi hari
saja sering absen.
Sudah 25 pagi ku lewati di sini. Dan tidak pernah sekali pagi pun dia
absen untuk menelfonku. Tak heran jika dia selalu menelfon di pagi
hari. Dia mencinati pagi. Entah untuk apa.
Di satu sisi, aku terharu, tapi di sisi lain aku juga merasa risih.
Bukannya aku gak senang, tapi terkadang aku buru-buru tapi tidak enak
untuk memutuskan telfon. Alhasil, aku telat dan kehilangan turis.
Seperti pagi ini.
“Kamu sehat kan? Udah sarapan? Sarapannya apa? Mama bikin nasi goreng nih, enak. Coba kamu di sini, pasti…”
“Ma, aku udah telat. Udah hampir sebulan dan mama gak pernah absen buat
nelfon aku. Stop dong ma. Lima kali aku kehilangan turis karena..”
kalimat itu menggantung. Tapi dia mengerti.
“Mama cuma kangen sama kamu. Maafin mama ya. Ya udah, berangkat gih sana. Hati-hati ya, nak.” Sambungan telfon diputus.
“Ma…”
Esokan paginya tidak pernah sama lagi. Aku lega dia mengerti.
Sekarang dia hanya menelfon tiga kali seminggu. Tapi ada yang berbeda
dari suara itu. Suara yang selalu ngingatin makan itu perlahan berubah
serak. Bahkan pernah satu waktu ia menelfon dan aku mendengar suaranya
sangat parau. Aku diam. Aku takut untuk bertanya.
Perlahan tapi pasti. Frekuensi dia menelfon berkurang. Memasuki
minggu kedua di bulan ketiga aku di sini, dia hanya menelfon satu kali.
Sedangkan minggu ini dia sama sekali tidak menelfon. Meskipun tidak
menelfon, dia tetap mengirim pesan singkat di pagi hari untuk
mengingatkanku tentang makan atau apalah. Atau bahkan hanya untuk
sekedar say hello.
“Ma, pesawatku udah mau take off. Jam 11 udah harus sampai di airport
ya ma.” Aku menekan pilihan send di hpku. Aku kangen sama dia. Dia yang
selalu menelfon di pagi hari. Dia yang selalu memberi perhatian
kepadaku. Dia yang selalu kuat di mataku meski cobaan yang ia hadapi
begitu berat. Mulai dari perginya papa sampai harus melepasku untuk
magang.
Dia wanita hebat. Dia wanita kuat. Dia pahlawan. Dia Wonder Women-ku.
Dia aktris terhebat yang bisa memainkan peran ayah dan ibu seakaligus.
Dia yang mampu membesarkanku seorang diri. Dia single parent-ku. Dia
yang akan selau kusayang dan kurindu. Dia yang akan selalu kusebut
namanya di setiap doaku. Dia yang selalu ada saat aku butuhkan. Dia yang
selalu ada saat suka maupun duka. Dia seorang yang kelak akan ku buat
bangga. Dia wanita cantik, kuat, hebat dan tegar. Dia punyaku. Dia
pahlawan hidupku. Dia yang membuatku mampu menjalani hari. Dia malaikat.
Dia…
Dia, mamaku. Dan dia juga wanita yang terlihat lebih tua dari umurnya.
Wanita yang selalu tegar di mataku, yang selalu jadi Wonder Women-ku,
yang selalu menjadi penolong dalam hidupku, yang mengajarkanku sebuah
ketabahan. Wanita itu sama dengan wanita yang terlelap di depanku. Dia
tidur. Tidur di sisi-Nya.
Sekarang aku tau. Aku tau alasan di balik semua perhatiannya di pagi
hari. karena menurutnya, pagi itu adalah waktu paling sempurna. karena
jika kita dapat melihat pagi artinya kita berhasil bangun dari kematian
sementara. karena itu dia mencintai pagi. karena itu dia membuat pagi
itu selalu berharga. karena hanya di pagi hari juga dia dapat melihat
putri satu-satunya, tertawa bersamanya, berbincang bersamanya,
membuatkan sarapan untuknya, dan memandangi aku sepuas hatinya.
karena pada siang hari saat aku di sekolah, dia akan terlihat tidak
berdaya. Tidak terlihat seperti wanita yang ku kenal di pagi hari.
Wajahnya terlihat sangat sedih. Dan taukah alasan di balik semua itu?
karena dia punya segudang masalah yang tak pernah ia keluhkan. Sudah ku
katakan, dia wanita kuat. Bahkan aku pun baru tau setelah dia pergi.
Awalnya ku kira dia pergi karena sakit. Tapi saat kurapikan kamarnya,
aku menemukan map berlogokan rumah sakit. Sejak saat itu aku tau. Dia
sudah membuat perjanjian dengan rumah sakit. Atau tepatnya dia menjadi
sukarelawan untuk mendonorkan jantungnya. Dan jantungnya dijadikan donor
untuk seorang gadis kecil, Keyla. Aku tidak mengenalnya. Mendengarnya
pun baru pertama kali. Dan di dalam map itu, aku menemukan alasan
mengapa ia melakukannya. Dia terlilit hutang.
Aku menangis. Kata demi kata ku baca tanpa suara. Semakin menyesakkan
dada. Dan taukah mengapa dia terlilit hutang? Itu karena aku. Sejak
papa pergi, perekonomian keluarga kami hancur. Dia meminjam uang di
sana-sini untuk melanjutkan sekolahku dan kelangsungan hidup kami sampai
dia tidak mampu membayarnya. Sempat dia putus asa. Putus asa. Kata-kata
yang paling pantang di dengarnya. Tapi begitulah dia.
Sampai dia menemukan iklan di koran tentang pendonoran jantung itu.
Dia membuat perjanjian dengan ayah gadis kecil itu. Dia akan mendonorkan
jantungnya apabila sudah waktunya. Tapi dengan syarat ayah gadis kecil
itu bisa melunasi semua hutangnya dan membiaya kehidupan kami sampai
tiba waktunya. Dan waktu itu telah tiba.
Karena dia wanita itu. karena dia teladanku. karena dia yang
mengajari arti hidup. karena dia yang berkorban untukku. karena dia
kuat, dia hebat, dia tabah, dia malaikatku. karena dia pantas mendapat
penghargaan setinggi-tingginya. karena dia wanita yang ku sebut mama.
Aku akan bertahan. Aku akan menjadi sosok malaikat seperti dirinya.
karena dia mencintai pagi. Dan karena pagi itu adalah pagi terakhir
kami…
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar