Ayolah Willy masa kamu kalah sama anak perempuan sih,” kataku
menyemangati Willy, sahabatku. Kami sedang lomba lari namanya anak-anak
umurku masih enam tahun sedangkan Willy tujuh tahun. Tiba-tiba darah
segar keluar dari hidung Willy.
“Willy kamu kenapa?” kataku dengan perasaan bersalah.
“Entahlah sekarang pandanganku agak enggak kelihatan, mungkin aku tidak apa-apa Zahwa,” jawab Willy.
“Kalau begitu aku antar kamu pulang ya…” kataku sambil menggandeng Willy.
Lima tahun kemudian…
Sekarang aku kelas VII di SMP Nusa Bangsa. Umurku masih 11 tahun dan
umur Willy sekarang 12 tahun. Aku masih satu kelas dengan Willy. Malah
aku duduk di sampingnya. Tidak ada yang berubah dari Willy selain sejak
peristiwa lima tahun lalu yang membuatnya memakai kacamata.
Saat istirahat aku dan Willy melihat papan pengumuman. Ternyata akan
diadakan pesta dansa setelah ujian akhir semester satu. Padahal hari ini
adalah hari pertama ujian semester.
“Mmm… Willy kamu mau tidak kalau menjadi pasanganku di pesta dansa,” tawarku.
“Tentu,” jawab Willy.
Hari Pesta Dansa pun tiba…
Aku datang dengan memakai gaun biru dan kerudung berwarna senada. Willy sudah menunggu di depan rumahku.
“Aku tidak bisa berdansa jadi, nanti kita duduk-duduk saja ya…” pintaku.
“Aku sebenarnya juga tidak bisa berdansa kok” jawab Willy.
Sesampainya di sekolah. Lapangan sudah ramai. Aku dan Willy memilih
duduk di rerumputan taman yang dekat dengan lapangan. Sebelum pesta
dansa ada pengumuman peringkat. Ya… kami berdua tenang-tenang saja
pasrah dengan hasil yang tercapai lagipula kami sudah bekerja keras kok.
“Dan peringkat pertama untuk kelas tujuh diraih oleh dua orang dari
kelas yang sama yaitu Willy Ferwency dan Zahwa Azizah tolong maju ke
depan bersama pasangan pesta dansa masing-masing,” kata bapak kepala
sekolah.
Antara bingung bahagia dan perasaan yang lain menjadi satu. Kami
berdua pun maju ke pentas. Bapak kepala sekolah bingung, “lo? Mana
pasangan kalian?”
“ng.. sebenarnya kami berdua pasangan pesta dansa,” kataku dan Willy menjelaskan.
“Oh kalau begitu selamat ya, ini hadiahnya” ujar bapak kepala sekolah sambil memberi sebuah bungkusan.
Saat semua berdansa kami hanya duduk-duduk di rerumputan hingga
tiba-tiba hidung willy mengeluarkan darah segar dan willy mengeluh
kepalanya sangat pusing.
“kalau begitu ayo ku antar ke UKS,” tawarku. Willy hanya mengangguk aku
memapahnya karena ia kelihatan sudah kehilangan tenaganya.
Di tengah perjalanan Willy pingsan aku langsung berteriak meminta
tolong hingga teman-teman dan para guru berlari ke arahku. Para guru
mwmbawa Willy ke rumah sakit.
Aku menunggu hasil cek darah Willy semoga ia tidak apa-apa. Ternyata
Willy menderita kanker otak dan diperkirakan hidupnya tidak lama lagi.
Aku mendengar itu sangatlah sedih. Sahabatku sejak dulu diperkirakan
meninggal tidak lama lagi.
Aku mengunjungi ruangan Willy. Banyak alat-alat yang tidak kutahu di
sekelilingnya. Willy masih tak sadarkan diri ada kacamatanya di meja
dekat tempat tidurnya. Orangtua Willy sudah datang.
Kupegang tangan sahabatku itu. Willy siuman orangtua Willy sudah di
samping ranjang. Willy mengatakan sesuatu dengan susah payah dan dengan
suara lirih, “maafkan aku Zahwa, aku akan pergi untuk selamanya. Kalau
kau ingin bertemu denganku temui aku di dekat rerumputan taman sekolah.
kita masih sahabat kan tidak ada yang bisa menggantikanmu.”
“Tentu kita sahabat tidak ada yang bisa menggantikanmu, Willy,” kataku.
setelah itu elektro kardiograf di samping tempat tidur Willy menunjukkan
bahwa Willy sudah meninggalkanku untuk selamanya. Dalam hati aku
berkata, “tidak ada yang bisa menggantikanmu, Willy”.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar