“Puisimu ini sangat bagus, sampai aku terlena kau buat.” pujiku atas puisi buatan mantan kekasihku Rifan,
Memang penyesalan berujung di setiap kisah kehidupan, begitulah yang
aku rasakan sekarang. Mungkin bila dikatakan manusia bodoh, maka
pantaslah aku dijuluki demikian. Betapa tidak, aku telah menyia-nyiakan
seseorang yang begitu mencintaiku dengan cara yang luar biasa. Tapi
justru aku menolak caranya tersebut. Sebab aku yang masih memiliki ego
yang besar, hingga menjadikanku meratapi segalanya yang telah berlalu.
Rifan, sungguh menyesalnya aku, mengabaikanmu yang mencintaiku dengan
caramu yang sangat luar biasa. Namun kini semua tiada guna lagi.
Masih ku ingat hari pertama kita bertemu, kala itu kau datang pada
acara pernikahan kakakku. Dengan pakaian sederhana dibalut jaket hitam
bertuliskan namamu di belakangnya, kau tampak apa adanya. Meskipun waktu
itu aku terkejut dengan postur tubuhmu yang ‘big size’, tapi aku tahu
sekarang. Tersimpan hal luar biasa di dalam dirimu. Jika saja waktu
dapat aku putar kembali, ingin ku kembali di masa kita masih bersama,
menjalin kasih dengan caramu yang indah. Terlebih setelah kawanmu, Beni,
menceritakan semua yang telah kau lakukan selepas kita tak lagi
menjalin hubungan, rasanya aku benar-benar berdosa kepadamu, Fan. Wahai
mantan kekasihku, adakah waktu untuk kita bersama lagi seperti dahulu?
“Assalamu’alaikum, ini benar dengan Nadira alumnus SMA Kencana? yang
jurusan IPA?”, bunyi pesan obrolan facebook pertamamu padaku,
“Wa’alaikumsalam, iya benar. Ini siapa yah? Kok bisa kenal dengan Dira?
Emang kamu alumnus SMA Kencana juga?”, balasku yang juga melalui obrolan
facebook,
“Iya, aku alumnus SMA Kencana. Lah, kan tertera namaku disana.”, jawabmu sekenanya,
“oh iya. Oh namamu Rifan toh? Emang dulu jurusan apa dan angkatan tahun berapa?” tanyaku lagi padamu yang masih penasaran,
“Iya. Aku jurusan IPS, angkatan tahun 2007/2008.”, balasmu singkat,
“oh… salam kenal yah…” ketikku pada obrolan facebook kala itu,
“iya.” Jawabmu menyudahi obrolan kita di masa silam,
Aku tak tahu bagaimana caranya untuk mengungkapkan apa yang aku
rasakan. Begitu bersalahnya aku meninggalkan orang sepertimu, Fan! Aku
meninggalkanmu demi seseorang yang hanya mengumbar janji, membawaku ke
awang-awang lalu tanpa aku tahu kapan aku kan dihempaskan olehnya.
Tetapi baru aku ketahui bila masa yang ku takuti ialah bulan lalu,
setelah kami memadu kasih selama 5 bulan. Dan ia tidak jua melakukan apa
yang ia katakan, remuk hatiku Fan! Rasanya hati ini hancur
berkeping-keping!! Inginku menghajar tepat di wajahnya.
Namun siapalah aku? Hanya seorang wanita yang lemah sebatas marah
serta menangis saja yang mampu kuperbuat. Selebihnya tak sanggup ‘tuk ku
lakukan. Wahai yang mencintaiku, masihku ingat ketika kau datang kali
ketiga dengan tampangmu yang acak-acakan, wajahmu penuh peluh bercampur
debu jalanan. Semestinya ku pikirkan semua yang kau lakukan untukku
dulu. Lagi, hanya penyesalan kata yang layak keluar dari mulutku. Aku
dengar dari sahabatmu Septian, dalam do’amu, kau tak lupa sebut namaku,
dalam sujudmu, kau hantarkan harapan dalam garis hidupmu tentang aku
yang kau cinta.
Duhai pemberi semangat ketika aku lelah bertarung dengan skripsiku,
aku harap kau dapat mendengarkan. Di balik ragaku yang lemah ini, telah
kau taburkan rasa semangat di dalamnya. Wahai pemberi ilmu disaat aku
bingung, kau berikan aku pembaharuan tentang segalanya. Aku tahu, kau
merasa kecewa denganku, berharap aku hilang dalam hidupmu namun ku
berharap, dengarlah, dengarkanlah lirihnya jeritanku dalam kebisuan
hati. Bahwa aku rela kau caci-maki karena memang aku pantas
mendapatkannya.
“Aku sering ditanyai oleh kakakku, ‘kau punya pacar tapi kayak gak
punya pacar, Dir?’. Aku bingung harus menjawab apa. Mungkin ALLAH
menciptakan pertemuan untuk suatu PERPISAHAN yang akhirnya dipertemukan
kembali dalam keindahan.” Isi smsku padamu,
“maksudmu apa Humairoh? Apakah yang kau maksud bahwa hubungan kita berakhir?” balasanmu untukku,
“Iya!! Aku sudah tidak kuat untuk jalani hubungan seperti ini!! Aku
memiliki seorang kekasih tapi seperti tidak mempunyai!!”, jawabku
menjelaskan keadaanku,
Sekarang, aku baru tahu, Fan! Ketika aku menginginkan hubungan kita
berakhir, kau sedang dalam kondisi letih, baru saja menyelesaikan
dokumentasi di sebuah acara. Dan ini baru ku ketahui dari seseorang yang
juga alumnus dari sekolah Kencana. Entah, bagaimana perasaanmu kala
itu!! Dengan kondisi yang letih tapi harus menerima kenyataan jika
hubunganmu denganku haruslah berakhir. Wahai sosok yang tak menyerah,
layaklah aku kini menerima kepahitan ini. Duhai pemberi ilmu, ketika aku
sedang tidak tahu tentang Ad-Din kau datang dengan membawa
hadits-hadits. Pantaslah aku untuk kau campakkan.
Aku sadar, aku pernah mengatakan, “siapa yang bilang kau tidak lebih
baik dari mantan-mantanku? Bagiku, walau engkau tidak seperti mereka
namun kau lebih baik dari mereka! Kau selalu mengingatkanku untuk
shalat. Kau selalu memberitahukan kepadaku tentang perkara-perkara yang
sebelumnya belum ku ketahui dan kini aku mengetahuinya. Rifan sayangku,
buatku, kamulah kekasihku yang terbaik!!” bunyi smsku yang ku kirim
padamu dulu,
Maafkanlah aku Rifan!! Aku telah membuat harapan serta impianmu
melayang entah kemana. Hatiku pun ikut hancur!! Saat aku mengetahui
serta menyadari betapa seriusnya engkau mencintaiku. Rifan, dengarlah…
Aku disini sekarang! Di sampingmu! Takkan lagi kau harus lelah berjalan
kaki hanya untuk datang ke rumahku supaya kita bisa bertemu.
“Nadira, maukah kamu menjadi kekasihku? Tapi, kita lakukan dengan cara ta’rauf.” Katamu padaku melalui telepon seluler,
“hmm… ya udah, kalau gitu aku jawab disaat kau telah datang ke rumahku.” Balasku yang juga melalui sms,
Memang, seharusnya aku sudah menyadari dari semula jika ada yang
spesial di dalam dirimu. Sungguh sangat bodohnya aku, kehilanganmu awal
dari keterpurukanku karena dia. Hatiku sakit, Fan! Bila mengingat
kenangan saat kita masih bersama tapi nasi telah menjadi bubur. Karena
lemahnya aku sebagai seorang perempuan, membuat kamu dan aku harus
mengalami masa keterpurukan. Dapatkah aku memperbaiki semua yang telah
terjadi? Ataukah memang ini harus tetap sama seperti sekarang? Rifan,
dengarlah… Aku membutuhkanmu seperti dahulu!!
“Yang, kamu tahu apa yang aku rasakan saat ini?” tanyamu melalu pesan singkat,
“apa Yang?” balasku singkat,
“Aku sayang dan cinta padamu, Humairoh! Oh iya, aku jadi teringat
dengan sebuah hadits Riwayat Abu Abdullah Muhammad bin Ismail bin
Ibrahim bin Al-Mughirah bin Bardizbah al Ju’fi al Bukhari atau Imam
Bukhari, dari kitab/bab Nikah yang artinya, “wanita dinikahi karena 4
(empat) perkara, pertama karna kecantikannya, keturunannya, kekayaannya
dan yang terkahir karena agamanya. Maka pilihlah karena agamanya,
niscaya engkau akan beruntung. Jadi aku mencintaimu karena ALLAH dan
insya’allah akan menikahimu karena agamamu.” Jelasmu kepadaku,
“ah kamu Yang, bisa aja.” Jawabku sekenanya,
Tahukah kamu Fan? Ketika itu, aku bahagia! Setelah membaca sms
darimu. Rifan, dengarlah… Aku mencintaimu, Fan! Sama seperti dahulu.
Rifan, masih ingatkah kamu saat aku mengatakan padamu kalau aku
mencantumkan namamu pada skripsiku? Aku memasukkan namamu di daftar
penyusun agar aku semakin semangat dan tak perlu takut ketika menghadapi
sidang! Wal hasil, aku lulus Fan! Dan kamu pun tahu akan hal itu. Lalu,
masih ingatkah kamu, ketika aku berharap kehadiranmu pada acara
wisudaku? Sebab, aku ingin keberadaanmu dalam hari-hariku tidak hanya
sebatas datang ke rumah namun juga dalam acara tersebut dan terabadiakan
dalam memori otakku. Tapi kenyataan berbicara lain, sebulan sebelum
pelangsungan wisuda, hubungan kita harus berakhir!
Rifan, tahukah kamu? Sekarang aku mengajar dibidang yang aku ambil
semasa kuliah dulu dan tahukah kamu, dimana aku mengajar? Aku mengajar
di sebuah pesantren, Fan! Padahal awalnya aku hanya ingin mengajar di
TPA dekat rumahku namun aku terus mengingat dia yang sudah menghancurkan
mimpi-mimpiku! Rifan… jangan kau bersedih seperti ini di depanku!
Apakah kau tak malu atau merasa jatuh harga dirimu, dengan menangis
dilihat oleh orang lain!? Sudahlah Fan! La Tahzan!! Haruskah aku
mengingatkanmu tentang malu? Yang dahulu pernah kau kirimkan melalui
sebuah hadits kepadaku?
“Malu merupakan sebagian dari Iman.”
“Pintu Iman ada 70 dan salah satunya adalah malu.”
Ingatkah kamu pada hadits tersebut? Jadi, sudahlah, jangan kau
bersedih lagi!! Sudah cukup kamu menanggung pilu! Tak perlu lagi kini
kau merasakannya, sebab aku sudah ada disini, di sampingmu.
“Nak Dira, sudah waktunya.” Seru Ibunda Rifan padaku,
“eh… Iya bu. Tapi… bolehkah?” ucapku sambil menghapus air mata yang sedari tadi mengalir,
“hmm…” jawab beliau mempersilahkan,
“terima kasih bu.” Balasku,
“Rifan, haruskan semua ini menimpa kita? Apakah memang kita tidak
ditakdirkan untuk bersama seperti impian kita? Rifan, andai aku bisa
menukar raga, aku ingin bukan kamu yang terbaring di ranjang ini
melainkan aku! Rifan, jangan sedih lagi yah! Sekarang aku akan selalu
ada di sampingmu! Takkan ku pergi meninggalkanmu lagi! Cepatlah sadar
Fan! Aku menantimu!” kataku yang menyudahi pertemuanku dengan Rifan yang
sedang terbaring koma akibat menolongku saat aku akan ditabrak oleh
sebuah mobil,
“ayo bu.” Ucapku,
Aku pun meninggalkan ruangan Rifan sebab waktu kunjungan rumah sakit
telah habis. Diantar oleh ibunda Rifan menuju pintu ruangan untuk
selanjutnya mengantarkan aku sampai ke kamarku yang juga masih satu
rumah sakit dengan Rifan. Setibanya di kamarku, ibunda Rifan membantuku
untuk berdiri dari kursi roda dan memindahkanku ke tempat tidur agar aku
bisa beristirahat. Selepas Ibunda Rifan meninggalkan ruangan, aku
mengambil sebuah kumpulan kertas yang diberikan ibunda Rifan kepadaku.
Aku baca tiap lembar, karya Rifan, tiap judul.
Air mata ini tak mampu lagi aku bendung, saat aku membaca hasil
tulisan Rifan, orang yang dulu mencintaiku dan aku pun mencintainya
namun kini ia tengah tergolek tak berdaya. Lantaran ia telah
menyelamatkanku dari kecelakaan naas kemarin. Aku baca semua karya
Rifan, hingga sampai pada sebuah tulisan yang di dalamnya tertulis,
terjemahan surah An Nuur.
“Wanita-wanita yang keji adalah untuk laki-laki yang keji, dan
laki-laki yang keji adalah buat wanita-wanita yang keji (pula), dan
wanita-wanita yang baik adalah untuk laki-laki yang baik dan laki-laki
yang baik adalah untuk wanita-wanita yang baik (pula). Mereka (yang
dituduh) itu bersih dari apa yang dituduhkan oleh mereka (yang menuduh
itu). Bagi mereka ampunan dan rezki yang mulia (surga). Katakanlah
kepada orang laki-laki yang beriman: Hendaklah mereka menahan
pandanganya, dan memelihara kemaluannya; yang demikian itu adalah lebih
suci bagi mereka, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang mereka
perbuat. Katakanlah kepada wanita yang beriman: Hendaklah mereka menahan
pandangannya, dan kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan
perhiasannya (auratnya), kecuali yang (biasa) nampak dari padanya. Dan
hendaklah mereka menutupkan kain kudung ke dadanya, dan janganlah
menampakkan perhiasannya (auratnya) kecuali kepada suami mereka, atau
ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau putera-putera mereka, atau
putera-putera suami mereka, atau saudara-saudara laki-laki mereka, atau
putera-putera saudara lelaki mereka, atau putera-putera saudara
perempuan mereka, atau wanita-wanita islam, atau budak-budak yang mereka
miliki, atau pelayan-pelayan laki-laki tua yang tidak mempunyai
keinginan (terhadap wanita) atau anak-anak yang belum mengerti tentang
aurat wanita. Dan janganlah mereka menghentakkan kakinya agar diketahui
perhiasan yang mereka sembunyikan. Dan bertaubatlah kamu sekalian kepada
Allah, hai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung.” (Q.S. An
Nuur ayat 26,30-31)
Sekali lagi, aku baru menyadari dan semua pun kian jelas. Bahwa apa
yang dahulu aku pinta, enggan kau menyetujuinya. Perasaanku semakin
larut dalam kesedihan yang terdalam. Mengenang gurauanmu, nasihatmu,
segalanya yang kau tunjukkan selama kita bersama. Duhai Dzat yang
menciptakan langit dan bumi, ampunilah kami atas dosa yang telah kami
perbuat dahulu serta berilah Rifan kesembuhan serta kesadaran, agar
hamba bisa bercanda ria dengannya lagi. Air mata semakin deras mengalir.
Beberapa bulan telah berlalu, kondisiku sudah pulih pasca kecelakaan
lalu, sementara keadaan Rifan masih sama, ia belum kunjung sadar.
Belakangan ini aku lebih sering menyempatkan diri untuk bisa berada di
sisinya sebab Rifan merupakan perantara ALLAH untuk menyelamatkanku dari
kecelakaan silam. Sekarang aku telah memberanikan diri untuk tinggal
lagi bersama kedua orangtuaku walau luka yang aku alami akibat gagalnya
hubunganku dengan orang yang penuh dengan omong kosong itu! Hari itu,
aku datang terlalu siang. Ketika aku berada di depan kamar inap Rifan,
aku melihat seorang perempuan berjilbab dengan cadar yang membungkus
wajahnya. Entah siapa dia, aku tak mau mengganggunya.
Disinilah ingatanku kembali berputar, mengingat tentang ucapan Rifan kepada salah seorang sahabatku, Dini.
“Din, gue sebenarnya mau aja belajar mengendarai motor tapi gue punya
pengalaman kelam di masa kecil dan itu masih gue rasakan kala gue
mencoba untuk belajar mengendarai motor. Nah karena itulah gue mencoba
untuk belajar mengendarai kendaraan lain selain motor yaitu mobil.
Alhamdulillah, sekarang gue udah lancar mengendarai mobil bahkan gue
juga udah memiliki SIM A. Lagipula, bila mobil dibandingkan dengan
motor, mobil lebih nyaman dan bisa lebih santai.” Terangmu kepada Dini
dulu,
“ya tapi kalau motor kan Fan, lebih efisien dan fleksible. Gak ribet.” Balas Dini yang membelaku kala itu,
“ya udah, sekarang gini aja, gue cuma nyari calon istri yang
pengertian, yang bisa diajak susah dan gak neko-neko. Jika Nadira memang
tetap bersikukuh dengan keinginannya, ya udah, silahkan. Maaf ini udah
menjadi keputusan gue, Din. Sampaikan pula maaf gue buat sahabat lo,
Nadira.” Jelasmu untuk terakhir kali,
Ya, kini aku berspekulasi tentang perempuan bercadar di dalam, kalau
dia merupakan sosok yang selama ini menjadi idaman Rifan. Tamatlah
sudah!! Harapanku harus pupus untuk bisa dipinang oleh laki-laki seperti
Rifan. Aku termenung… Tiba-tiba,
“Assalamu’alaiki…” Ucap seseorang memberikan salam kepadaku,
“Wa’alaikumsalam…” jawabku membalas salam orang itu,
“apakah benar Anti ini adalah Nadira?” Tanya orang tadi,
“Iya, benar Ukhti. Ana, Nadira. Anti siapa ya?” balasku serta menanyakan siapa dia sambil menyuruhnya untuk duduk di sampingku,
“Alhamdulillah… Ana Yanifah.” Jawabnya,
“oh…” kataku singkat,
“ternyata, Rifan benar yah. Anti ini cantik.” Ujarnya menyanjungku,
“maksud Anti apa?” tanyaku kebingungan,
“dulu, Rifan pernah bercerita kepada ana tentang ukhti yang pernah ia
cintai dan sayangi. Ukhti itu berparas cantik, terlebih bila ia sedang
malu atau tersenyum akan tampak pipinya berubah kemerahan.” Terangnya
mengisahkan obrolannya dengan Rifan,
“Rifan juga mengatakan, ia menyesal serta merindukan sosok ukhti
tersebut ketika ia tahu bahwa ukhti itu akan melangsungkan pernikahan
dengan ikhwan yang tentunya bukan Rifan sendiri.” Tambahnya,
“Anti tahu? Ia mencintai ukhti tersebut pada pandangan pertamanya yang
terjadi sekitar 6-7 tahun silam. Bahkan sempat ana mendengar, ketika ia
sedang shalat, ia menyebut Anti itu dalam setiap doa, sujud, dan shalat
tahajudnya, berharap kalau ia bisa meminangnya.” Lanjutnya tanpa
memberiku kesempatan untuk berbicara,
Dalam hati, aku menjerit sejadi-jadinya namun enggan ku tunjukkan itu
di depan wanita ini, takut membuat ia cemburu karena tahu aku menyesali
semua ulahku.
“Anti, Rifan mencintai anti dengan tulus. Walaupun Rifan tahu
kesempatannya untuk memperistri anti telah tertutup. Ia merindukan
kehadirana anti dalam setiap hari-harinya. Barangkali anti ingat dengan
benda ini? Rifan memberikan benda ini saat masih singgah di pondok
pesantren ana. Ia juga berkisah perihal benda ini, bagaimana ia
memperolehnya. Sungguh, betapa beruntungnya anti bisa dicintai oleh
ikhwan seperti Rifan.” Tambahnya lagi,
“Astaghfirullah!! Benda ini merupakan barang pemberianku dulu. Ia masih menyimpannya!?” batinku merintih perih,
“oh iya, ana hampir lupa. Ini surat yang sempat Rifan titipkan ke ana
sebelum ia pergi meninggalkan pondok pesantren untuk melanjutkan
perantuan serta pencariannya tentang ilmu agama. Ia berpesan agar ana
mengirimkannya namun ana lupa dan baru setelah berbulan-bulan berlalu
dari masa itu, ana bisa berjumpa langsung dengan akhwat idaman Rifan.”
Katanya sambil memberikan beberapa amplop surat kepadaku,
Aku hanya mampu menghela nafas saat aku terima surat tersebut dari
Yanifah. Tak tahu apa yang mesti aku katakan pada Yanifah, ia
memandangku dengan tatapan yang aneh. Dalam hatiku, siapakah dia
sebenarnya? Kalau memang dia gadis yang selama ini menemani Rifan dan
merupakan gadis yang diimpikannya. Mengapa ia mengucapkan semua itu
kepadaku? Terlalu bodoh dia melakukannya!
“ana yakin, Rifan tidak salah dalam memilih calon istri dan calon ibu
dari anak-anaknya kelak memang jika dilihat anti ini adalah akhwat yang
sholehah, cocok dengan Rifan.” Ujarnya memecah kecanggungan,
“maaf, maksud anti apa? Ana tidak mengerti.” Kataku yang berusaha mengakrabkan diri,
“yang mana?” Tanya Yanifah yang terlihat mengerutkan kedua alis matanya,
“maksud ana, anti ini siapa? Kenapa anti menyampaikan semua hal itu
kepada ana? Bukankah anti adalah gadis yang diimpikan oleh Rifan bahkan,
selama ini anti yang menemani Rifan.” Tanyaku pada Yanifah,
“Alhamdulillah, akhirnya anti bertanya hal itu. Ana bukanlah siapa-siapa
Rifan, ana datang dari pondok ke sini hanya ingin menuntaskan wasiat
Rifan kepada ana beberapa bulan lalu. Sebelum akhirnya ia pergi namun
beberapa hari yang lalu, ana mendapatkan kabar dari kerabat dekat kami
yang sempat datang ke Jakarta dengan tujuan berkunjung ke rumah Rifan.
Tetapi kerabat kami mendapatkan kabar tentang kecelakaan yang menimpa
Rifan. Lantas ia kembali ke pondok dan memberitahukan berita ini ke ana.
Maka dari itulah ana bergegas untuk datang ke sini.” Terangnya dengan
mata berkaca-kaca seperti merasakan sesuatu.
Tiba-tiba dari dalam ruangan Rifan terdengar suara teriakan yang memanggil-manggil doket serta suster.
“dokter! Suster! Alat penunjuk jantungnya tidak berfungsi! Dokter!
Suster! Cepat ke sini!!” suara teriakan yang ku tahu adalah suara Ibunda
Rifan,
Suster bersama dengan dokter pun datang ke kamar inap Rifan. Aku yang
menyaksikan pemandangan tersebut merasa khawatir. Aku pegang erat-erat
surat dari Rifan yang ada di tanganku sambil berusaha masuk ke dalam
ruangan 303 yang merupakan kamar Rifan. Namun salah seorang suster
mencegahku masuk dan aku hanya bisa mengetahui keadaan di dalam melalui
suara-suara ribut yang berasal dari dalam. Perasaanku kian menjadi
ketika aku mendengar suara ibunda Rifan dengan nada menangis. Aku
pandangi bunda Rifan, kami berusaha untuk saling menguatkan. Di tengah
kekalutan kami, aku teringat akan sebuah pesan yang Rifan sampaikan
kepadaku dulu.
“cukuplah kematian sebagai pemberi nasihat.”
“ada beberapa hal yang sekiranya ALLAH berikan dan hal tersebut takkan
pernah tertukar dengan yang lain, yaitu rezeki, jodoh serta maut.”
Dokter keluar dari ruangan, ibunda Rifan menghampiri, aku lihat raut
wajah sang doket, mimiknya tidak bersahabat! Aku pun mulai berdo’a,
berharap Rifan baik-baik saja. Namun ALLAH lebih mencintainya. Hujan air
mata terjadi seketika, aku berusaha sekuat tenaga supaya tidak
menangis. Yanifah memelukku agar aku lebih tenang tapi kesedihan yang
aku rasakan tak mampu lagi aku tahan. Kedua mataku mulai mengaliri air
pilu. Para suster mulai keluar menarik tempat tidur yang di atasnya
telah terbaring jasad tanpa nyawa. Rifan telah pergi meninggalkan
orang-orang yang mencintainya, termasuk aku. Ibundanya tak mau lepas
dari anak laki-lakinya.
Yanifah terus berusaha menguatkanku sambil kami melangkah
meninggalkan kamar yang telah menjadi tempat perjuangan Rifan melawan
masa-masa kritisnya. Kami semua pergi dari rumah sakit dan untuk
selanjutnya mengantarkan jenazah Rifan ke rumahnya agar bisa dimandikan,
dishalati dan kemudian dikebumikan. Dalam hati aku berkata,
“Rifan, bagaimana pun aku mencintaimu dengan caramu yang seperti itu.
Kini mereka yang mengenalmu akan melupakanmu, sebagaimana ucapanmu
kepadaku dulu, ‘biarlah hanya hari ini aku dikenal oleh orang yang aku
temui dan bila waktunya nanti, aku berharap mereka melupakanku’. Selamat
jalan pujaan hatiku, semoga dosa-dosamu diampuni dan semua amal
ibadahmu diterima oleh ALLAH AZZA WA JALLA. Aamiin.”
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar