Detik jam terus berlalu, layaknya sang surya yang menampakkan
kehangatannya tepat waktu. Dinginnya angin yang mencengkram mencoba
membekukan perasaanku yang sedang asik mengitari keindahanmu. Rasanya
baru kemarin aku mengenalmu, namun kau telah mampu menebak apa yang
tersembunyi di balik isi hatiku. Tapi mengapa? Mengapa harus ku telan
lagi pahit yang harus ku nikmati bertahun-tahun ini? Rasanya sungguh tak
adil bagiku.
“Mengapa kau terus menatapku seperti itu?”, ia mencoba membuka
percakapan. Menghilangkan keheningan di sela dinginnya gemercik air yang
turun dari langit. Kulit tebal yang menyelimutiku rasanya kurang puas
untuk membentengi tusukan-tusukan dingin yang menikam.
“Tidak apa-apa, aku hanya…”, kata-kataku terputus ketika ia bergegas
mendekatiku. Mencoba membangun serangan-serangan untuk tetap membuatku
hangat.
“Terima kasih”, ucapku pelan, ketika selembar jaket tipis mendarat di
tubuhku, ia hanya mengangguk sambil tersenyum manis. Kulihat jam yang
melingkar di tanganku masih menunjukkan pukul 19.02. Adzan pun mulai
menyentuh telinga dengan merdunya. Ku terus menikmati indahnya alunan
rintik air hujan yang tak kunjung reda. Mungkin akan awet hujannya,
pikirku. Aku pun mulai merangkai kata agar kebersamaan ini takkan
membatu.
“Bagaimana kabarmu?”, tanyaku dengan sedikit basa-basi.
“Baik”, jawabnya hambar.
“Kau sendiri bagaimana kabarmu?”, lanjutnya.
“Seperti biasa, baik-baik saja”, jawabku sambil memperhatikan tangannya
yang sibuk merogoh tas yang dibawanya. Sepertinya ada sesuatu yang ingin
ia tunjukkan.
“Kau masih ingat dengan ini?”, sambil memperlihatkan sesuatu.
Deg. Sebuah kotak musik. Sepertinya benda itu tak asing bagiku. Sebuah
benda yang mengingatkanku akan masa lalu. Masa lalu yang sempat membuat
hatiku hancur lebur. Jika aku mengingat orang itu, ingin rasanya ku
membunuhnya. Tidak, lebih tepat lagi membunuh harapan yang pernah ku
bangun sedemikian rupa indahnya. Namun harapan itu pun pupus ketika
seseorang itu merencanakan harapan baru dengan bidadari lain. Bidadari
itu, sahabatku. Sakit, memang. Tapi, ya sudahlah. Itu sudah menjadi
pilihannya. Pilihan yang mungkin akan merasa dirinya lebih baik untuk
mewujudkan rajutan mimpi indahnya dengan sahabatku itu.
“Iya, memangnya kenapa?”, aku bertanya balik dengan sedikit mimik kesal.
“Eng.. Engga, gak papa”, jawabnya terbata-bata. Ingin rasanya ku akhiri
saja pertemuan ini, tapi tiba-tiba rintik hujan pun semakin deras.
Kenapa harus tercipta kenangan yang indah, namun menyisakan luka di
hati? Mungkin memang sudah jalan takdirku seperti ini, aku membatin. Tak
lama kemudian ia meneruskan kata-katanya.
“Aku merindukan ini. Aku juga merindukan seseorang yang memberikan benda
ini padaku. Dan aku juga merindukan tempat ini. Tempat yang biasa ku
kunjungi dengan kisah masa laluku”, katanya dengan lembut tanpa
mengurangi rasa kehormatannya. Tapi itu sudah berlalu, lagipula kamu
juga tak peduli bagaimana perasaanku saat kamu lebih memilih sahabatku
daripada aku, aku memaki dalam hati. Kini aku sudah tak tau harus
berkata apa. Aku sedikit tercengang mendengar ucapannya barusan. Seolah
jantungku berhenti bekerja seperti biasanya. Aliran darahku berhenti
mengalir. Oksigen yang masuk-keluar pun tak lagi berirama seindah
biasanya. Mulutku terkunci rapat. Aku bergegas mencari kunci tersebut
agar mulutku dapat terbuka dan mengucapkan beberapa kata. Tapi sayang,
otakku tak dapat bekerja maksimal untuk mencari kata-kata yang tepat
untuk menangkis serangan mematikan yang ia berikan.
“Kamu gak kenapa-kenapa kan?”, tanyanya dengan penuh kekhawatiran.
Untung saja udara disini dingin. Kalau tidak, mungkin aku sudah mandi
keringat karena menahan rasa cemasku yang bercampur gugup ini.
“Emm, gak papa kok”, jawabku mengumpatkan sesuatu agar ia tak curiga.
Akhirnya aku nekat membuka mulutku yang sedari tadi tertutup rapat.
“Aku kira kau telah membuangnya”, kataku sambil meraih kotak musik itu dari tangannya.
“Aku tidak akan pernah bisa membuangnya”, katanya dengan raut wajah menyesal.
“Kenapa?”, tanyaku penasaran. Ia terdiam sejenak. Menghela nafas sambil
melihat tampiasan air hujan yang jatuh dari atap. Atap sebuah rumah kayu
yang pernah kami buat sebagai hari jadiku dengannya 3 tahun yang lalu.
“Aku selalu merindukan seseorang ketika ku buka kotak ini”, katanya
sambil meraih kotak musik itu dari tanganku. Kali ini ia benar benar
membuka kotak itu. Putri kecil nan mungil pun keluar dari sarangnya.
Dengan nada-nada yang indah nan mendayu, alunan musik yang merdu,
melodi-melodi yang menyentuh dinding hati itu pun sejenak mengheningkan
sebuah percakapan klasik oleh dua insan. Bertepatan dengan itu, rintik
hujan yang sedari tadi sudah akrab menemaniku, kini mulai berhenti.
“Aku merindukanmu”, ia melanjutkan kata-katanya.
Hatiku terpukul ketika ia mengatakan itu. Jelas, dia yang pernah
kucintai setulus hati, tapi lebih memilih orang lain yang tak lain
adalah sahabatku sendiri.
“Tapi, kamu sekarang kan kamu sudah milik Elena, sahabatku”, kataku dengan pasti.
“Kau takkan percaya ini bukan?”, dia bertanya memancingku untuk balik bertanya.
“Memangnya kenapa?”, tanyaku.
“Sebenarnya orangtua ku ingin menjodohkanku dengannya, tapi karena kami
tak saling mencintai, aku pun putus hubungan dengannya.”, katanya dengan
penuh penjelasan. Sepertinya kini aku tau kenapa ia merindukanku. Ia
mencoba mendekatiku. Apa yang kau lakukan? Pikirku dalam hati.
“Calysta… Jujur, aku tak dapat membohongi perasaanku. Meskipun kita
sudah lama putus hubungan, tapi aku masih menyayangimu. Hanya kotak
musik ini yang dapat mengobati kerinduanku padamu”, kata-katanya serasa
membelah langit yang tadinya hitam pekat menjadi cerah.
“Calysta, maukah kamu kembali lagi padaku?”, tak ku sangka ia akan
menanyakan hal seperti itu. Jujur Rey, aku juga masih mencintaimu,
bisikku dalam hati. Aku hanya mengangguk dengan tersenyum bahagia dan
lepas dengan menyandarkan kepalaku di bahunya. Tak terasa pipiku basah
terkena terpaan tetesan di balik kedua mataku. Aku menangis bahagia. Ya,
aku menangis bahagia karenanya. Karena ternyata dia benar-benar
memelukku dengan erat. Sudah lama aku tak merasakan kehangatan
pelukannya yang mampu membuat jiwaku tenang.
“Aku sayang padamu, Calysta”, ia berbisik tepat di telingaku.
“Aku juga sayang padamu, Rey”, kataku dengan senyuman penuh hangat.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar