Pages

Minggu, 25 Mei 2014

Kotak Musik

Detik jam terus berlalu, layaknya sang surya yang menampakkan kehangatannya tepat waktu. Dinginnya angin yang mencengkram mencoba membekukan perasaanku yang sedang asik mengitari keindahanmu. Rasanya baru kemarin aku mengenalmu, namun kau telah mampu menebak apa yang tersembunyi di balik isi hatiku. Tapi mengapa? Mengapa harus ku telan lagi pahit yang harus ku nikmati bertahun-tahun ini? Rasanya sungguh tak adil bagiku.
“Mengapa kau terus menatapku seperti itu?”, ia mencoba membuka percakapan. Menghilangkan keheningan di sela dinginnya gemercik air yang turun dari langit. Kulit tebal yang menyelimutiku rasanya kurang puas untuk membentengi tusukan-tusukan dingin yang menikam.
“Tidak apa-apa, aku hanya…”, kata-kataku terputus ketika ia bergegas mendekatiku. Mencoba membangun serangan-serangan untuk tetap membuatku hangat.
“Terima kasih”, ucapku pelan, ketika selembar jaket tipis mendarat di tubuhku, ia hanya mengangguk sambil tersenyum manis. Kulihat jam yang melingkar di tanganku masih menunjukkan pukul 19.02. Adzan pun mulai menyentuh telinga dengan merdunya. Ku terus menikmati indahnya alunan rintik air hujan yang tak kunjung reda. Mungkin akan awet hujannya, pikirku. Aku pun mulai merangkai kata agar kebersamaan ini takkan membatu.
“Bagaimana kabarmu?”, tanyaku dengan sedikit basa-basi.
“Baik”, jawabnya hambar.
“Kau sendiri bagaimana kabarmu?”, lanjutnya.
“Seperti biasa, baik-baik saja”, jawabku sambil memperhatikan tangannya yang sibuk merogoh tas yang dibawanya. Sepertinya ada sesuatu yang ingin ia tunjukkan.
“Kau masih ingat dengan ini?”, sambil memperlihatkan sesuatu.
Deg. Sebuah kotak musik. Sepertinya benda itu tak asing bagiku. Sebuah benda yang mengingatkanku akan masa lalu. Masa lalu yang sempat membuat hatiku hancur lebur. Jika aku mengingat orang itu, ingin rasanya ku membunuhnya. Tidak, lebih tepat lagi membunuh harapan yang pernah ku bangun sedemikian rupa indahnya. Namun harapan itu pun pupus ketika seseorang itu merencanakan harapan baru dengan bidadari lain. Bidadari itu, sahabatku. Sakit, memang. Tapi, ya sudahlah. Itu sudah menjadi pilihannya. Pilihan yang mungkin akan merasa dirinya lebih baik untuk mewujudkan rajutan mimpi indahnya dengan sahabatku itu.
“Iya, memangnya kenapa?”, aku bertanya balik dengan sedikit mimik kesal.
“Eng.. Engga, gak papa”, jawabnya terbata-bata. Ingin rasanya ku akhiri saja pertemuan ini, tapi tiba-tiba rintik hujan pun semakin deras. Kenapa harus tercipta kenangan yang indah, namun menyisakan luka di hati? Mungkin memang sudah jalan takdirku seperti ini, aku membatin. Tak lama kemudian ia meneruskan kata-katanya.
“Aku merindukan ini. Aku juga merindukan seseorang yang memberikan benda ini padaku. Dan aku juga merindukan tempat ini. Tempat yang biasa ku kunjungi dengan kisah masa laluku”, katanya dengan lembut tanpa mengurangi rasa kehormatannya. Tapi itu sudah berlalu, lagipula kamu juga tak peduli bagaimana perasaanku saat kamu lebih memilih sahabatku daripada aku, aku memaki dalam hati. Kini aku sudah tak tau harus berkata apa. Aku sedikit tercengang mendengar ucapannya barusan. Seolah jantungku berhenti bekerja seperti biasanya. Aliran darahku berhenti mengalir. Oksigen yang masuk-keluar pun tak lagi berirama seindah biasanya. Mulutku terkunci rapat. Aku bergegas mencari kunci tersebut agar mulutku dapat terbuka dan mengucapkan beberapa kata. Tapi sayang, otakku tak dapat bekerja maksimal untuk mencari kata-kata yang tepat untuk menangkis serangan mematikan yang ia berikan.
“Kamu gak kenapa-kenapa kan?”, tanyanya dengan penuh kekhawatiran. Untung saja udara disini dingin. Kalau tidak, mungkin aku sudah mandi keringat karena menahan rasa cemasku yang bercampur gugup ini.
“Emm, gak papa kok”, jawabku mengumpatkan sesuatu agar ia tak curiga. Akhirnya aku nekat membuka mulutku yang sedari tadi tertutup rapat.
“Aku kira kau telah membuangnya”, kataku sambil meraih kotak musik itu dari tangannya.
“Aku tidak akan pernah bisa membuangnya”, katanya dengan raut wajah menyesal.
“Kenapa?”, tanyaku penasaran. Ia terdiam sejenak. Menghela nafas sambil melihat tampiasan air hujan yang jatuh dari atap. Atap sebuah rumah kayu yang pernah kami buat sebagai hari jadiku dengannya 3 tahun yang lalu.
“Aku selalu merindukan seseorang ketika ku buka kotak ini”, katanya sambil meraih kotak musik itu dari tanganku. Kali ini ia benar benar membuka kotak itu. Putri kecil nan mungil pun keluar dari sarangnya. Dengan nada-nada yang indah nan mendayu, alunan musik yang merdu, melodi-melodi yang menyentuh dinding hati itu pun sejenak mengheningkan sebuah percakapan klasik oleh dua insan. Bertepatan dengan itu, rintik hujan yang sedari tadi sudah akrab menemaniku, kini mulai berhenti.
“Aku merindukanmu”, ia melanjutkan kata-katanya.
Hatiku terpukul ketika ia mengatakan itu. Jelas, dia yang pernah kucintai setulus hati, tapi lebih memilih orang lain yang tak lain adalah sahabatku sendiri.
“Tapi, kamu sekarang kan kamu sudah milik Elena, sahabatku”, kataku dengan pasti.
“Kau takkan percaya ini bukan?”, dia bertanya memancingku untuk balik bertanya.
“Memangnya kenapa?”, tanyaku.
“Sebenarnya orangtua ku ingin menjodohkanku dengannya, tapi karena kami tak saling mencintai, aku pun putus hubungan dengannya.”, katanya dengan penuh penjelasan. Sepertinya kini aku tau kenapa ia merindukanku. Ia mencoba mendekatiku. Apa yang kau lakukan? Pikirku dalam hati.
“Calysta… Jujur, aku tak dapat membohongi perasaanku. Meskipun kita sudah lama putus hubungan, tapi aku masih menyayangimu. Hanya kotak musik ini yang dapat mengobati kerinduanku padamu”, kata-katanya serasa membelah langit yang tadinya hitam pekat menjadi cerah.
“Calysta, maukah kamu kembali lagi padaku?”, tak ku sangka ia akan menanyakan hal seperti itu. Jujur Rey, aku juga masih mencintaimu, bisikku dalam hati. Aku hanya mengangguk dengan tersenyum bahagia dan lepas dengan menyandarkan kepalaku di bahunya. Tak terasa pipiku basah terkena terpaan tetesan di balik kedua mataku. Aku menangis bahagia. Ya, aku menangis bahagia karenanya. Karena ternyata dia benar-benar memelukku dengan erat. Sudah lama aku tak merasakan kehangatan pelukannya yang mampu membuat jiwaku tenang.
“Aku sayang padamu, Calysta”, ia berbisik tepat di telingaku.
“Aku juga sayang padamu, Rey”, kataku dengan senyuman penuh hangat.

0 komentar:

Posting Komentar

 

Fans