Cinta itu memiliki nada-nada. Tersembunyi di balik tuts-tuts.
Diungkap oleh sepasang tangan dengan sepuluh jari. Bukan melalui otak,
tetapi melalui hati, cita dan rasa terhadap cinta. Nada-nada itu
terbelenggu di balik tuts, memaksa insan yang tengah dimabuk cinta
mengurainya dalam sebuah alunan tak beraturan, namun berbunyi indah.
Cinta adalah alunan nada-nada.
– Tuts –
Bagian I
“Apa ini?” tanya Vero pada Venus, kekasihnya, mengenai buku yang diberikan Venus padanya.
“Itu adalah cinta.”
Vero membuka buku itu. Sebuah buku nada yang sudah dihiasi rangkaian not-not balok. Judulnya tertulis, ‘Tuts V and V’.
“Kata orang-orang, cinta adalah rangkaian rasa yang tak dapat diungkap
secara tepat dengan kata-kata. Tapi aku tidak setuju sepenuhnya.
Menurutku, cinta itu adalah serangkaian nada yang diungkap dalam melodi.
Alunan cinta adalah sebuah jelmaan. Karena alunan itu berasal dari
kamu.”
Vero merasa sangat terharu. Ia mendekap Venus, laksana mendekap
berjuta cahaya matahari. Venus adalah sinarnya. Venus adalah
kehangatannya. Venus adalah mimpi yang menjadi nyata. Venus adalah
cintanya.
“Terima kasih, Ve. Boleh aku mendengarnya sekarang?”
Venus tersenyum, “Sabar ya, ada waktunya.”
“Kapan?”
“Minggu depan, hari Sabtu, di sini.”
“Di sini? Di ruang kelas piano?”
Venus hanya mengangguk.
—
“Ma, aku pergi dulu ya” pamit Vero sambil mencium kedua sisi pipi mamanya.
“Kamu cantik sekali. Mau kemana, sih?”
“Mau ketemu Venus!” Ia menjawab dengan semangat.
“Hati-hati, ya!”
“Yup! Titip salam buat papa!”
Vero membawa kendaraan roda empat itu dengan laju. Hampir saja ia
melanggar rambu lalu lintas. Setibanya di kampus, Vero segera berlari
menuju kelas piano. Semakin dekat ke tempat itu, semakin jantungnya
berdebar kencang. Tak biasanya ia berdebar seperti itu hanya untuk
bertemu dengan Venus. Kini ruangan itu sudah ada di depannya. Masih
tertutup. Ia malangkah perlahan.
“Ve?!” Panggilnya dari luar pintu. Tapi tidak ada jawaban.
Ia membuka pintu perlahan. Dan betapa terkejutnya ia melihat tatanan
di dalam ruangan itu, bagaikan terkena sihir. Di lantai bersebaran
kelopak bunga mawar putih. Dua Lilin di atas piano, dan beberapa lilin
di sisi-sisi sudut ruangan. Jendela dibiarkan terbuka, membuat cahaya
matahari sore menari indah di sisi-sisi ruangan. Di salah satu sisi
dinding terpampang sebuah kain putih lebar yang dihiasi dengan
kelopak-kelopak bunga mawar merah, dedaunan hijau, daun bintang berwarna
kuning, ada fotonya dengan Venus di sana, juga sebuah tulisan, ‘Selamat
Ulang Tahun Vero-ku’.
Vero memasuki ruang itu dan berjalan menuju piano. Ia duduk di
kursinya dan melihat sebuah kertas yang diselipkan di dalam buku nada
yang tempo itu diberikan Venus padanya. Ia menarik kertas itu.
- Untuk Vero,
Selamat Ulang Tahun Sayang.
Semoga kamu suka dengan kejutan ini.
Tetapi, ini baru pembukaan.
Akan ada kejutan yang berikutnya.
Semoga kamu menyukainya.
Tunggu aku, ya.
Venus. -
Senja mulai berlalu. Tetapi Venus belum juga datang. Namun Vero tak
pernah bosan menantinya. Entah kenapa tiba-tiba angin berhembus kencang
melalui pintu. Vero bergegas menutup pintu itu dan kembali duduk. Ia
mengambil buku itu. Melihat not-not yang ada di sana. Kemudian membuka
piano dan mulai memainkan nada-nadanya.
Itu musik yang sangat indah. Nadanya mengalun mengisi setiap sisi ruangan.
Dan, tiba-tiba pintu terbuka. Vero berhenti memainkan piano. Ia menoleh ke pintu. Di luar sana terlihat sangat gelap.
“Ve? Itu kamu?”
Tidak ada jawaban. Namun, bayangan yang panjang memasuki ruangan itu. Entah siapa pemiliknya.
“Ve, jangan bercanda.”
Seseorang dengan mantel hitam masuk ke dalam ruangan itu dan menutup pintunya. Vero mengenali orang itu.
“Bapak mengagetkan saya. Sedang apa bapak di sini?”
Pria itu tidak menjawab. Ia diam. Langit mendung di luar
menghantarkan sebuah cahaya kilat, menerangi ruangan itu untuk beberapa
saat. Mantel pria itu bersimbah darah. Di tangannya tergenggam erat
sebuah palu. Vero merasa takut. Ia mulai menjauh dari piano itu.
Tiba-tiba pria itu berlari menyerangnya. Palunya menghantam tuts
piano. Vero berlari menuju pintu, namun pria itu berhasil menarik
rambutnya. Ia menghempaskan Vero hingga menghantam piano itu. Buku itu
terjatuh.
Vero berusaha melawan, namun perlawanannya dikalahkan dengan sebuah
pukulan dari palu, tepat di kepala. Ia terhempas ke belakang. Ia meraih
kursi piano. Namun sayang, ketika ia akan melemparnya, pria itu sudah
lebih dahulu merampas dan menghantamkan kursi itu pada Vero. Vero
kembali terhempas.
Kini hanya ada satu jalan keluar. Ia berlari ke sana. Berdiri untuk
sesaat. Dan sekali lagi, cahaya kilat menerangi langit. Wajah pria keji
itu tergambar jelas di sana.
Ia melompat. Tanpa ragu. Tanpa rasa takut. Ia percaya, Venus akan menangkapnya di bawah sana.
—
“Gitu ceritanya! Jadi, anak-anak di kampus ini percaya, kalau kita
bisa memainkan not-not itu, kita akan dibawa ke suatu tempat. Di sana
kita akan bertemu banyak orang, tapi kita harus mencari dan menemukan
cinta sejati kita. Nah, kalau dia mau ikut dengan kita, kita harus
memainkan lagu itu sama-sama dengan dia. Dengan begitu, kita bisa
kembali ke dunia kita dengan membawa cinta sejati!” ucap Remi.
“Jadi kalau misalnya kita gagal?” tanya Cello.
“Habis deh lu! Kalau cuma salah memainkan doang waktu lu mau mulai, ya
‘gak akan terjadi apa-apa. Tapi kalau lu bisa memainkan dengan benar,
saat itu lu harus hati-hati. Lu ‘gak akan bisa milih buat menghentikan
permainan. Lu harus selesaikan misi. Dan kalau gagal, lu akan menjadi
tuts. Menggantikan tuts-tuts yang hilang!” ucap Arta dengan wajah
serius.
“Serius lu?!” seru Cello.
Remi dan Arta saling melihat. Mereka mengerutkan alis. Kemudian kembali melihat Cello. Dan,
“HAHAHAHAHAHA!”
“Ya ampun El! Lu udah over dosis ditinggal cewek kali ya! Hahaha! Masa
lu percaya yang begituan sih?! Itu cuma rumor kale!” seru Arta.
“Kurang kerjaan kalian!”
“Tapi, ruangan dan piano itu memang ada,” ucap Remi.
“Mau ngerjain gua lagi?”
“Gak. Ruangan itu memang ada. Bahkan buku nada itu masih tetap ada di
sana. Sudah berapa kali buku dan piano itu dipindahkan, tapi tetap aja
kembali ke ruangan itu. Kalau yang ini, gua gak berani bercanda. Lu
boleh tanya petugas kebersihan dan penjaga malam.”
“Di mana ruangan itu?”
“Di bagian paling belakang kampus. Gedung lama, lantai tiga. Ruangan paling ujung kanan,” ucap Arta.
—
Malam itu, Cello terus memikirkan cerita tentang ‘tuts’ tersebut. Tak
biasanya ia begitu memikirkan cerita-cerita seperti itu. Namun,
kemanusiannya mendorong keluar rasa ingin tahunya. ‘Ingin tahu’ yang
keterlaluan. Ia sampai tak bisa tidur malam itu. Insomnia akut selama
dua hari.
Beberapa hari kemudian, akhirnya ia memuaskan hasrat ingin tahu itu.
Sekarang ia sudah berdiri tepat di depan pintu ruang piano. Di luarnya
terlihat tulisan, ‘Dilarang masuk’. Aneh, semakin dilarang, ia malah
semakin ingin masuk.
Ia memegang knop pintu. Tiba-tiba jantungnya berdebar kencang. Tapi
rasa ingin tahu yang kelewatan, membuat ia memutar knop itu. Pintu
terbuka. Angin berhembus keluar, menyapu tubuhnya, membuat bulu di
sekujur tangannya tegak berdiri.
Ruangan itu cukup berantakan, tetapi tidak terlalu buruk. Ia melihat
sebuah piano di tengah-tengah ruangan itu. Ia mendekatinya. Piano itu
sudah usang. Catnya mengelupas. Ada bagian yang lecet, penyok, dan ada
yang terlihat remuk. Banyak tutsnya yang sudah hilang, seperti yang
diceritakan Remi dan Arta. Buku itu. Ya, buku itu benar-benar ada.
Cello duduk di kursi dan mengambil buku itu dengan hati-hati. Membukanya.
Lembar pertama:
- Mainkan not-notnya.
Maka waktu akan berlari.
Temukan cinta sejatimu di sana.
Mainkan kembali not-not itu.
Awal hingga akhir.
Akhir hingga awal.
Berdua. Bersama.
Dan bawa pulang cinta sejatimu.
Pada senja ke tujuh, jika kau gagal,
kau akan melengkapi tuts yang hilang. -
Cello membalik lembaran pertama, dan terlihatlah serangkaian not
balok di sana. Ia penasaran dengan bunyi lagunya. Ia melihat tuts-tuts
yang tersisa pada piano itu, kemudian mengamati nada-nadanya. Ini
benar-benar aneh. Tuts-tuts yang tersisa itu dapat digunakan untuk
memainkan secara utuh not-not pada buku itu.
Tangannya akan segera mamainkan lagu. Tetapi terhenti. Sesuatu
berbisik lembut dalam pikirannya. Mengatakan, ‘jangan terburu-buru’.
Cello menarik nafas panjang. Ia teringat pula cerita dari kedua sohibnya
itu. Hampir saja ia menjadi tuts.
Cello menutup buku itu dan membawanya pulang.
—
“Lu serius, buku ini dari dalam ruangan itu?!” Seru Remi dan Arta
bergantian ketika melihat buku nada yang terletak di atas meja itu.
Mereka tidak mau menyentuhnya.
“Lu gak baca judul lagunya? ‘Tuts V and V’. Sama persis dengan cerita kalian waktu itu!”
“Gila lu, ya! Nekad banget lu! Udah bosen hidup apa lu!” seru Remi.
“Eh, kalian bilang, buku ini ‘gak bisa dipisahkan dari piano itu. Tapi, udah dua hari, ini buku ada sama gua.”
“Gak waras lu, El! Cepat lu kembaliin itu buku!”
“Mungkin ‘gak ada salahnya gua coba membuktikan rumor cerita ‘tuts’ ini. Tau aja gua bisa ketemu cinta sejati gua!”
Cello membaca kembali kata-kata yang tertulis pada halaman pertama
itu. Sementara kedua sohibnya sibuk menyuruh ia untuk mengembalikan buku
itu.
“Eh, apa maksudnya ya kalimat ini? Mainkan kembali not-not itu. Awal
hingga akhir. Akhir hingga awal. Terus ini, pada senja ke tujuh. Apa
maksudnya?!”
Remi dan Arta ikut memperhatikan kalimat itu. Semuanya berpikir.
“Mungkin gini. Setelah lu ketemu sama cinta lu, lu berdua mesti
memainkan lagu itu sama-sama. Dari awal sampe habis. Lalu mainkan lagi
tapi dari akhir sampe ke awalnya,” jawab Remi.
“Pada senja ke tujuh. Mungkin itu artinya lu hanya diberi waktu tujuh
hari, dan permainan berakhir pada senja di hari ke tujuh,” ucap Arta.
“Ini bukan hal sepele, El! Seandainya cerita itu ternyata benar, lu bisa mati kalau gagal!” seru Remi.
Cello berpikir. Ia tahu cerita itu tidak dapat disepelekan. Tapi, semakin ia takut, semakin kuat rasa ingin tahunya. Manusia.
“Siang ini, lu berdua temani gua ke sana ya! Please!!”
Remi dan Arta saling melihat. Kemudian kembali melihat Cello.
“Lu ada hp kan?” tanya Arta.
“Kalau cerita itu memang benar, lu harus kabari kita sesering mungkin. Paham!” seru Remi.
“Ok! Lu berdua memang sohib gua yang paling keren!”
“Tapi ingat El! Tujuh hari. Dan lu harus janji, lu bakal balik dengan cinta sejati lu!”
Siang itu setelah kampus sepi, mereka bertiga menyelinap ke gedung
lama di bagian belakang. Naik ke lantai tiga, menuju ruang piano di
ujung kanan. Semakin mendekati ruangan itu, jantung mereka semakin
meronta. Dan sekarang mereka sudah berdiri di depan pintu. Entah kenapa
panas di siang itu, digantikan oleh tiupan angin dingin. Horor.
Cello memegang knop pintu.
“Lu harus kembali El!” seru Remi.
“Kalau terjadi apa-apa, cepat kabari kita!”
“Yoi!”
Mereka bertiga berpeluk erat. Setelah itu, tanpa ragu Cello memutar
knop pintu, membukanya, dan masuk ke dalam. Belum lama, pintu itu segera
tertutup. Ia berusaha membukanya, tetapi percuma. Saat itu ia tahu,
permainan akan dimulai.
Dengan hati-hati, Cello duduk di depan piano. Meletakkan buku itu
pada tempatnya. Sebelum memulai, ia berdoa lebih dulu. Kini apa pun yang
terjadi, ia harus siap. Jarinya menyentuh tuts. Matanya menatap teliti
not-not di buku itu. Ia sudah mencoba memainkannya di rumah. Dan kini,
alunan musik ‘Tuts V and V’ mengalir melalui sentuhan jemarinya. Musik
yang indah. Penuh irama cinta. Ia turut terhanyut dalam setiap nadanya.
SELESAI
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar