Pages

Minggu, 25 Mei 2014

Tuts (part 2)

Remi dan Arta menghilang bagai asap yang tertelan tiupan angin. Cello mematung melihat kejadian itu. Di ufuk barat, sinar matahari menuju senja. Orange cerah. Seingat Cello, hari masih siang bolong. Ia mencoba meregangkan kaku tubuhnya. Melihat dan mengamati sekitar. Kampus itu sepi, seperti sebelumnya. Tetapi kali ini, terlalu.
Ia memberanikan diri untuk melangkah. Menuruni anak tangga dengan hati-hati. Ia mulai merasa takut. Jangan-jangan permainan ini sudah dimulai. Ia berlari menuju pintu gerbang yang tertutup. Dengan tergesa-gesa Cello membuka gerbang itu, dan keluar dari kampus.
Sudah dimulai.
“Apa ini? Dimana aku?”
Tempat itu berbeda. Itu bukan pemandangan biasa yang selalu ia lihat setelah melewati gerbang kampus. Namun ada banyak orang di sana. Hilir lalu dengan kesibukannya masing-masing. Komunitas itu normal. Mereka bukan sekawanan zombie, hantu atau lainnya. Tempat itu juga normal. Bukan kuburan, atau tempat angker. Ini adalah sebuah dunia, di dunia yang berbeda.
“Ini sudah dimulai. Cerita itu bukan sekedar isapan jempol.” Cello teringat akan batas waktu permainan itu. Tujuh hari. “Gua harus buru-buru. Ini senja pertama.”
Cello berlari menjauh dari kampus itu. Matanya liar memperhatikan semua tempat, memperhatikan semua orang, khususnya perempuan. Ia harus segera menemukan cinta sejatinya. Entah kenapa, adegan-adegan dalam FTV melayang di kepalanya. Mungkin pertemuan dengan cinta sejatinya diawali dengan sebuah tubrukan; atau tiba-tiba ia tersandung batu dan seorang cewek datang menolongnya; atau seorang perempuan dengan dandanan ala gadis desa tiba-tiba terjatuh dari sepedanya tepat di depan Cello. Atau.
“Pantai?”
Cello berdiri kaku di pinggir jalan itu. Pemandangan indah terhampar tepat di seberang jalan. Sebuah pantai maha indah dengan pasir putih, dan cahaya senja matahari. Tetapi bukan itu yang membuatnnya terpaku di sana. Ada hal lain. Para mahadewi. Wanita-wanita berkulit mulus, berambut pirang, dengan sehelai kain melilit di pinggangnya, dan bikini yang miskin bahan alias pas-pasan.
Ia menuju surga itu. Berharap menemukan cinta sejatinya di antara lusinan wanita berbikini. Menerjang jalan raya yang penuh kendaraan. Hampir saja ia dicium sebuah mobil pick up. Kini ia menapak di atas hamparan pasir putih bermandikan cahaya mentari sore. Mulutnya ternganga. Jari telunjuknya menari nakal, memilih-milih mana cewek yang akan dikaitnya.
Namun, sebuah suara mengalihkan perhatiannya. Sebuah tawa yang lebih indah dari tawa mana pun. Bagai alunan sejuta melodi cinta. Membangkitkan rasa yang dulu pernah ia rasakan ketika kali pertama melihat Windy – mantan pertama -.
Ia mencari-cari asal suara itu. Siapa pemiliknya. Ah, itu dia. Ketemu. Seorang gadis dengan gaun putih tipis di atas lutut. Ia sedang bermain layangan bersama beberapa anak kecil. Tiba-tiba musik pantai berganti. Memutar lagu dengan alunan musik romantis, ‘Thosand Years _ Chirstina Perri’.
Kemudian, semua hiruk pikuk di pantai itu mulai meredup. Satu-persatu orang-orang menghilang. Meninggalkan debur ombak dan debar jantung. Tiap denyut nadi berteriak kata, ‘cinta’. Bahkan tiupan angin terdengar berbisik ‘cinta’, meniup helaian rambut sang mahadewi. Kini, mata sang dewi menatap lurus pada Cello. Seakan merasakan hadirnya sebuah getar cinta. Ia tersenyum manis. Senyumnya mampu merenggut waktu. Kini tiap detik melebur bagai t e t e s – t e t e s e m b u n p a g i. S l o w M o t i o n.
Tiba-tiba roh pujangga merasuk ke dalam tubuh Cello.
“Cinta, pencaharianku berakhir sudah.
Segala rasa, kini terungkap.
Saat kulihat parasmu, Indah.
Cinta..”
Dan, “Mas, mas! Bunga kertasnya. Tiga lima ribu! Murah!” ucap seorang perempuan penjual bunga kertas. Musik ‘Thosand Years’ itu menjadi kusut dan berhenti seketika. Semua lamunan Cello berakhir.
“Oh, boleh bu,” ucapnya dengan wajah terlihat bodoh. Setelah membayar bunga itu, ia kembali melihat mahadewinya. Dan tiba-tiba ia teringat akan batas waktu. Ini bukan waktunya bermain-main! pikirnya.
Ia memberanikan diri mendekati gadis itu. Berharap akan mendapat tanggapan positif dan signal ‘harapan’ dari sang gadis.
“Hai. Boleh kenalan gak?”
“Oh, boleh. Kenalin,” gadis itu menjulurkan tangan kanannya, dan Cello segera menyambut jabat tangan itu, “Mikha.”
“Gua, Cello. Tapi akrab dipanggil El.”
“Kamu orang baru ya, di sini?”
“Iya,” jawab Cello dengan wajah yang masih terpukau menatap sang dewi.
“Asalnya dari mana?”
“Kampus.” Masih dengan wajah bodohnya.
“Oh, anaknya rektor, ya?”
“Bukan.”
“Dosen?”
“Gak.”
“Petugas kebersihan?”
“Haa?” Cello bangun dari alam hayalnya. “Bukan, bukan! Gua cuma pelancong.”
“O, maaf.”
Cello teringat pada bunga kertas yang baru saja dibelinya.
“Oh iya. Ini,” ia menyerahkan tiga tangkai bunga kertas itu, “buat kamu.”
Mikha menerimanya, “terima kasih, ya. Oh iya, ayo duduk di sana. Kamu ‘gak terburu-buru ‘kan?”
“Enggak kok!” Ia tampak bersemangat.
Mereka duduk di sebuah pondok berteduh ditemani es kelapa.
“Jadi, selama di sini, kamu tinggal dimana?
“Gak tau.”
“Loh, kok gitu? Emang keluarga kamu dimana?”
“Aku pergi dari tempat asalku, untuk mencari dan menemukan sesuatu.”
“Kalau boleh tahu, mencari apa? Kerjaan?”
“Bukan.”
“Jadi?”
“Cinta sejati.” Jeda sesaat. “Tapi aku hanya punya waktu tujuh hari. Pada senja ke tujuh, jika aku tidak berhasil membawa cinta sejati itu, maka aku akan mati,” ucapnya terus terang.
Mikha terdiam mendengar hal itu. Alisnya berkerut dalam. Baru kali ini ia mendengar seseorang mengucapkan hal seperti itu dengan serius. Tetapi, ia tidak begitu mau menanggapi.
“Jadi, kamu akan tinggal dimana selama mencari ‘cinta sejati’ itu?”
“Tanah adalah alas tidurku. Langit adalah atapku,” ucapnya berlagak puitis.
“Oh, jadi kalau hujan dan petir, apanya kamu? Hahahaha! Kalau kamu mau, kamu boleh tinggal di rumah kecil di sebelah villaku.”
“Emang keluarga kamu ‘gak marah?”
“Hahaha! Mama, papaku udah gak ada. Aku anak tunggal. So, santai aja.”
“Maaf.”
“Gak apa. Ya udah, ayo!” ajaknya.
Senja pertama, berlalu.

Hari ketiga. Malam.
“Gak apa-apa aku mampir ke villa kamu? Takutnya ada yang marah,” ucap Cello dengan modus yang melatarbelakangi.
“Siapa yang marah? Aku tinggal sendirian di sini,” jawab Mikha, polos.
“Pacar kamu?”
“Aku gak punya pacar. Atau tepatnya, belum ketemu yang cocok.”
‘Yes! Peluang! Peluang!’ batin Cello. Saat itu juga, ia melihat sebuah benda yang terletak di sudut ruangan, dekat jendela.
“Kamu bisa main piano, ya?”
Mikha menoleh ke belakang, melihat piano itu.
“Aku nggak begitu bisa. Bundaku yang dulu sering memainkan piano itu. Ada satu lagu yang sering ia mainkan berdua dengan Ayah.”
“Boleh aku mencobanya sebentar?”
“Tentu.”
Cello mendekati piano itu dan duduk di depannya. Ia membuka tutupnya, mengusap lembut permukaan tuts itu, seakan ia sangat merindukan benda tersebut. Hanya ada satu lagu yang saat itu terlintas di kepalanya. Jemarinya mulai menari di atas tuts-tuts itu.
Mikha mendengarkannya dengan seksama. Lagu itu terdengar tidak asing. Sangat tidak asing.
‘Ini?.. Benar, lagu ini! Ini lagu yang dulu sering dimainkan ayah dan bunda!’ seru Mikha dalam hatinya. Ia begitu terkejut mendengar Cello memainkan lagu yang dulu sering ia dengar. Ia terus mendengarkan lagu itu. Sebuah rasa muncul di hatinya. Rindu yang teramat dalam kepada ayah dan bunda. Sampai ia tidak sadar air matanya sudah mengalir, menetes terjatuh.
Ketika Cello selesai memainkan lagu itu, ia beralih melihat Mikha. Dan ia sangat terkejut mendapati mahadewinya meneteskan air mata. Ia segera bangkit berdiri.
“Mikha, kenapa kamu menangis?”
“Aku rindu ayah dan bunuat mulut mereka kaku. Diam. Hening.
“Kata bunda, lagu itu mempertemukan dia dengan ayah.” Mikha memecah keheningan.
“Dan sekarang, lagu itu mempertemukan aku dan kamu.”

Hari keempat.
Mikha mengajak Cello berkeliling kota tersebut. Mereka mengunjungi beberapa tempat rekreasi dan resto yang terkenal. Kota itu memang bukan kota yang Cello kenal. Semuanya berbeda.
Mereka kembali ke pantai dan berteduh di sebuah pondok. Setelah bercerita panjang lebar mengenai diri mereka masing-masing, akhirnya Cello memutuskan untuk membuka pembicaraan mengenai maksud kedatangannya ke tempat itu.
“Mik, aku hanya punya waktu tiga hari lagi. Pada senja ke tujuh, jika aku tidak berhasil, aku akan lenyap.”
“Tentang cinta sejati itu ya?”
“Iya.”
Hening.
“Mikha. Aku yakin, perjumpaan kita bukan suatu kebetulan. Bukan suatu kebetulan pula, kamu mengenal lagu ‘Tuts V and V’ itu. Sejak pertama melihat kamu, aku percaya, kamu adalah cinta sejati itu.”
Mikha menarik nafas dalam, “tapi.. aku tidak tahu harus menjawab apa. Aku takut, aku belum memiliki rasa seperti yang kamu miliki saat ini.”
Cello tersenyum, “Nggak apa-apa, kok.”
“Tapi, gimana ceritanya, sampe kamu bisa datang ke sini? Dan kenapa kamu bisa mati, kalau ‘gak ketemu sama cinta sejati?”
Cello menarik nafas dalam, dan mulai menuturkan cerita itu dari awal mulanya hingga ia bisa sampai ke tempat itu, tanpa ada satu pun yang ia lewatkan. Mikha seakan tak percaya dengan apa yang ceritakan Cello. Sampai akhirnya Cello membawa Mikha ke kampusnya. Dan ternyata pada waktu yang bergulir di dunia Mikha, kampus Cello hanyalah sebuah gedung tua yang sudah lama ditinggalkan, karena berita yang beredar mengenai kasus pembunuhan terhadap dua orang mahasiswa. Cello menuntun Mikha menuju ruang piano itu. Dan menunjukkan piano yang ia gunakan untuk memainkan lagu ‘Tuts V and V’, serta buku lagu itu yang terletak di atas piano.
Mikha tak banyak bertanya atau berkomentar. Bahkan sampai mereka tiba di villa.
Senja keempat, berlalu.

Hari kelima.
Pagi itu tidak seperti biasanya. Ketika Cello turun dari tempat tidur, ia merasa udara begitu dingin. Menusuk sampai ke ulu hati. Kepalanya terasa nyeri, bahkan ia hampir mencium dinding sewaktu akan masuk ke kamar mandi. Selesai berpakaian, ia menuju ruang tamu, dan saat itu ia mendengar suara piano dari villa. Ia segera keluar dari rumah dan berjalan menuju villa Mikha. Pintunya terbuka. Dan dari luar terlihat punggung Mikha dihiasi rambut hitamnya, tengah mencoba memainkan sebuah lagu pada piano itu.
Cello berdiri di depan pintu.
“Pagi Mikha. Boleh masuk?” ucapnya.
Mikha menoleh, “pagi El. Kebetulan banget kamu datang! Boleh ajari aku lagu itu?”
“Maksud kamu, ‘Tuts V and V’?”
“Yup!”
Cello masuk, mendekati Mikha dan duduk di sampingnya.
“Kamu sakit El? Wajah kamu pucat.”
“Gak kok! Ayo kita mulai. Coba kamu perhatikan dulu ya. Lagu ini memang diciptakan untuk dimainkan berdua.”
Cello mulai memainkan lagu itu. Mikha memperhatikannya dengan serius. Entah apa yang membuatnya ingin mempelajari lagu itu, sampai-sampai ia bersikeras ingin menguasai lagu itu secepatnya. Bahkan setelah makan siang, tanpa banyak berbasa-basi, mereka kembali bergumul dengan piano dan lagu itu. Hingga malam.
Dan kini, Mikha hampir sepenuhnya menghafal not lagu itu dan memainkannya dengan cukup baik, meski terkadang ia berhenti sejenak untuk mengingat not berikutnnya.
“Mikha, kita lanjut lagi besok ya. Tanganku rasanya mau copot. Kamu juga, harus istirahat. Jangan sampai sakit,” ucapnya sambil tersenyum.
“Ya. Terima kasih, sudah mau repot-repot mengajariku. Kamu juga kelihatan kurang sehat. Sebaiknya, sampai di rumah langsung istirahat.”
“Oke. Selamat malam, Mikha.”
“Malam, El.”
Cello berjalan menuju pintu, dan tak sedetik pun mata Mikha melewatkan memandangi punggung Cello hingga ia menghilang di balik pintu, ketika Cello menutup pintunya.
Hari itu, penuh dengan melodi. Ya. Hanya melodi.
da.” Suaranya parau.
Cello bisa memahami apa yang dirasakan Mikha. Rindu itu memang sebuah penyakit yang kelewatan, apalagi ketika yang dirindu tak lagi tinggal di dunia ini. Keterlaluan. Perasaan manusia memang penuh gejolak, terkadang indah, namun terkadang menyiksa.
Cello mendengar sebuah perintah dari dalam hatinya. Mengirim perintah itu kepada otak dan mengalirkannya pada seluruh jaringan syaraf. Ia merangkul sang maha cinta. Mikha tak menolak rangkulan itu. Kini ia leluasa meluapkan tangisnya, bersandar pada dada Cello.
Setelah tangisnya mereda, Cello mengajaknya duduk di sofa. Ia menarik sehelai tisu di atas meja, dan memberikannya pada Mikha.
“Terima kasih,” ia mengeringkan air matanya. “Maaf. Bikin malu aja, nangis di depan kamu.”
“Tidak apa-apa, kok! Wanita itu cantik ketika ia menangis.”
“Hahaha! Gombal!” jeda, “oh, iya. Lagu itu.. Itu lagu yang dulu sering dimainkan ayah dan bunda.”
Bagai tersambar petir, Cello sangat terkejut mendengar hal itu.
“Aku tidak tahu apa judul lagu itu. Tetapi tiap kali menanyakan itu lagu apa, mereka berdua menjawab,”
“INI ADALAH CINTA.” Cello dan Mikha mengatakan hal itu bersama-sama.
Kini keduanya bagai tersengat jutaan volt tenaga listrik. Setrumnya memb

0 komentar:

Posting Komentar

 

Fans