Remi dan Arta menghilang bagai asap yang tertelan tiupan angin. Cello
mematung melihat kejadian itu. Di ufuk barat, sinar matahari menuju
senja. Orange cerah. Seingat Cello, hari masih siang bolong. Ia mencoba
meregangkan kaku tubuhnya. Melihat dan mengamati sekitar. Kampus itu
sepi, seperti sebelumnya. Tetapi kali ini, terlalu.
Ia memberanikan diri untuk melangkah. Menuruni anak tangga dengan
hati-hati. Ia mulai merasa takut. Jangan-jangan permainan ini sudah
dimulai. Ia berlari menuju pintu gerbang yang tertutup. Dengan
tergesa-gesa Cello membuka gerbang itu, dan keluar dari kampus.
Sudah dimulai.
“Apa ini? Dimana aku?”
Tempat itu berbeda. Itu bukan pemandangan biasa yang selalu ia lihat
setelah melewati gerbang kampus. Namun ada banyak orang di sana. Hilir
lalu dengan kesibukannya masing-masing. Komunitas itu normal. Mereka
bukan sekawanan zombie, hantu atau lainnya. Tempat itu juga normal.
Bukan kuburan, atau tempat angker. Ini adalah sebuah dunia, di dunia
yang berbeda.
“Ini sudah dimulai. Cerita itu bukan sekedar isapan jempol.” Cello
teringat akan batas waktu permainan itu. Tujuh hari. “Gua harus
buru-buru. Ini senja pertama.”
Cello berlari menjauh dari kampus itu. Matanya liar memperhatikan
semua tempat, memperhatikan semua orang, khususnya perempuan. Ia harus
segera menemukan cinta sejatinya. Entah kenapa, adegan-adegan dalam FTV
melayang di kepalanya. Mungkin pertemuan dengan cinta sejatinya diawali
dengan sebuah tubrukan; atau tiba-tiba ia tersandung batu dan seorang
cewek datang menolongnya; atau seorang perempuan dengan dandanan ala
gadis desa tiba-tiba terjatuh dari sepedanya tepat di depan Cello. Atau.
“Pantai?”
Cello berdiri kaku di pinggir jalan itu. Pemandangan indah terhampar
tepat di seberang jalan. Sebuah pantai maha indah dengan pasir putih,
dan cahaya senja matahari. Tetapi bukan itu yang membuatnnya terpaku di
sana. Ada hal lain. Para mahadewi. Wanita-wanita berkulit mulus,
berambut pirang, dengan sehelai kain melilit di pinggangnya, dan bikini
yang miskin bahan alias pas-pasan.
Ia menuju surga itu. Berharap menemukan cinta sejatinya di antara
lusinan wanita berbikini. Menerjang jalan raya yang penuh kendaraan.
Hampir saja ia dicium sebuah mobil pick up. Kini ia menapak di atas
hamparan pasir putih bermandikan cahaya mentari sore. Mulutnya
ternganga. Jari telunjuknya menari nakal, memilih-milih mana cewek yang
akan dikaitnya.
Namun, sebuah suara mengalihkan perhatiannya. Sebuah tawa yang lebih
indah dari tawa mana pun. Bagai alunan sejuta melodi cinta.
Membangkitkan rasa yang dulu pernah ia rasakan ketika kali pertama
melihat Windy – mantan pertama -.
Ia mencari-cari asal suara itu. Siapa pemiliknya. Ah, itu dia.
Ketemu. Seorang gadis dengan gaun putih tipis di atas lutut. Ia sedang
bermain layangan bersama beberapa anak kecil. Tiba-tiba musik pantai
berganti. Memutar lagu dengan alunan musik romantis, ‘Thosand Years _
Chirstina Perri’.
Kemudian, semua hiruk pikuk di pantai itu mulai meredup. Satu-persatu
orang-orang menghilang. Meninggalkan debur ombak dan debar jantung.
Tiap denyut nadi berteriak kata, ‘cinta’. Bahkan tiupan angin terdengar
berbisik ‘cinta’, meniup helaian rambut sang mahadewi. Kini, mata sang
dewi menatap lurus pada Cello. Seakan merasakan hadirnya sebuah getar
cinta. Ia tersenyum manis. Senyumnya mampu merenggut waktu. Kini tiap
detik melebur bagai t e t e s – t e t e s e m b u n p a g i. S l o w M
o t i o n.
Tiba-tiba roh pujangga merasuk ke dalam tubuh Cello.
“Cinta, pencaharianku berakhir sudah.
Segala rasa, kini terungkap.
Saat kulihat parasmu, Indah.
Cinta..”
Dan, “Mas, mas! Bunga kertasnya. Tiga lima ribu! Murah!” ucap seorang
perempuan penjual bunga kertas. Musik ‘Thosand Years’ itu menjadi kusut
dan berhenti seketika. Semua lamunan Cello berakhir.
“Oh, boleh bu,” ucapnya dengan wajah terlihat bodoh. Setelah membayar
bunga itu, ia kembali melihat mahadewinya. Dan tiba-tiba ia teringat
akan batas waktu. Ini bukan waktunya bermain-main! pikirnya.
Ia memberanikan diri mendekati gadis itu. Berharap akan mendapat tanggapan positif dan signal ‘harapan’ dari sang gadis.
“Hai. Boleh kenalan gak?”
“Oh, boleh. Kenalin,” gadis itu menjulurkan tangan kanannya, dan Cello segera menyambut jabat tangan itu, “Mikha.”
“Gua, Cello. Tapi akrab dipanggil El.”
“Kamu orang baru ya, di sini?”
“Iya,” jawab Cello dengan wajah yang masih terpukau menatap sang dewi.
“Asalnya dari mana?”
“Kampus.” Masih dengan wajah bodohnya.
“Oh, anaknya rektor, ya?”
“Bukan.”
“Dosen?”
“Gak.”
“Petugas kebersihan?”
“Haa?” Cello bangun dari alam hayalnya. “Bukan, bukan! Gua cuma pelancong.”
“O, maaf.”
Cello teringat pada bunga kertas yang baru saja dibelinya.
“Oh iya. Ini,” ia menyerahkan tiga tangkai bunga kertas itu, “buat kamu.”
Mikha menerimanya, “terima kasih, ya. Oh iya, ayo duduk di sana. Kamu ‘gak terburu-buru ‘kan?”
“Enggak kok!” Ia tampak bersemangat.
Mereka duduk di sebuah pondok berteduh ditemani es kelapa.
“Jadi, selama di sini, kamu tinggal dimana?
“Gak tau.”
“Loh, kok gitu? Emang keluarga kamu dimana?”
“Aku pergi dari tempat asalku, untuk mencari dan menemukan sesuatu.”
“Kalau boleh tahu, mencari apa? Kerjaan?”
“Bukan.”
“Jadi?”
“Cinta sejati.” Jeda sesaat. “Tapi aku hanya punya waktu tujuh hari.
Pada senja ke tujuh, jika aku tidak berhasil membawa cinta sejati itu,
maka aku akan mati,” ucapnya terus terang.
Mikha terdiam mendengar hal itu. Alisnya berkerut dalam. Baru kali
ini ia mendengar seseorang mengucapkan hal seperti itu dengan serius.
Tetapi, ia tidak begitu mau menanggapi.
“Jadi, kamu akan tinggal dimana selama mencari ‘cinta sejati’ itu?”
“Tanah adalah alas tidurku. Langit adalah atapku,” ucapnya berlagak puitis.
“Oh, jadi kalau hujan dan petir, apanya kamu? Hahahaha! Kalau kamu mau, kamu boleh tinggal di rumah kecil di sebelah villaku.”
“Emang keluarga kamu ‘gak marah?”
“Hahaha! Mama, papaku udah gak ada. Aku anak tunggal. So, santai aja.”
“Maaf.”
“Gak apa. Ya udah, ayo!” ajaknya.
Senja pertama, berlalu.
—
Hari ketiga. Malam.
“Gak apa-apa aku mampir ke villa kamu? Takutnya ada yang marah,” ucap Cello dengan modus yang melatarbelakangi.
“Siapa yang marah? Aku tinggal sendirian di sini,” jawab Mikha, polos.
“Pacar kamu?”
“Aku gak punya pacar. Atau tepatnya, belum ketemu yang cocok.”
‘Yes! Peluang! Peluang!’ batin Cello. Saat itu juga, ia melihat sebuah benda yang terletak di sudut ruangan, dekat jendela.
“Kamu bisa main piano, ya?”
Mikha menoleh ke belakang, melihat piano itu.
“Aku nggak begitu bisa. Bundaku yang dulu sering memainkan piano itu. Ada satu lagu yang sering ia mainkan berdua dengan Ayah.”
“Boleh aku mencobanya sebentar?”
“Tentu.”
Cello mendekati piano itu dan duduk di depannya. Ia membuka tutupnya,
mengusap lembut permukaan tuts itu, seakan ia sangat merindukan benda
tersebut. Hanya ada satu lagu yang saat itu terlintas di kepalanya.
Jemarinya mulai menari di atas tuts-tuts itu.
Mikha mendengarkannya dengan seksama. Lagu itu terdengar tidak asing. Sangat tidak asing.
‘Ini?.. Benar, lagu ini! Ini lagu yang dulu sering dimainkan ayah dan
bunda!’ seru Mikha dalam hatinya. Ia begitu terkejut mendengar Cello
memainkan lagu yang dulu sering ia dengar. Ia terus mendengarkan lagu
itu. Sebuah rasa muncul di hatinya. Rindu yang teramat dalam kepada ayah
dan bunda. Sampai ia tidak sadar air matanya sudah mengalir, menetes
terjatuh.
Ketika Cello selesai memainkan lagu itu, ia beralih melihat Mikha.
Dan ia sangat terkejut mendapati mahadewinya meneteskan air mata. Ia
segera bangkit berdiri.
“Mikha, kenapa kamu menangis?”
“Aku rindu ayah dan bunuat mulut mereka kaku. Diam. Hening.
“Kata bunda, lagu itu mempertemukan dia dengan ayah.” Mikha memecah keheningan.
“Dan sekarang, lagu itu mempertemukan aku dan kamu.”
—
Hari keempat.
Mikha mengajak Cello berkeliling kota tersebut. Mereka mengunjungi
beberapa tempat rekreasi dan resto yang terkenal. Kota itu memang bukan
kota yang Cello kenal. Semuanya berbeda.
Mereka kembali ke pantai dan berteduh di sebuah pondok. Setelah
bercerita panjang lebar mengenai diri mereka masing-masing, akhirnya
Cello memutuskan untuk membuka pembicaraan mengenai maksud kedatangannya
ke tempat itu.
“Mik, aku hanya punya waktu tiga hari lagi. Pada senja ke tujuh, jika aku tidak berhasil, aku akan lenyap.”
“Tentang cinta sejati itu ya?”
“Iya.”
Hening.
“Mikha. Aku yakin, perjumpaan kita bukan suatu kebetulan. Bukan suatu
kebetulan pula, kamu mengenal lagu ‘Tuts V and V’ itu. Sejak pertama
melihat kamu, aku percaya, kamu adalah cinta sejati itu.”
Mikha menarik nafas dalam, “tapi.. aku tidak tahu harus menjawab apa.
Aku takut, aku belum memiliki rasa seperti yang kamu miliki saat ini.”
Cello tersenyum, “Nggak apa-apa, kok.”
“Tapi, gimana ceritanya, sampe kamu bisa datang ke sini? Dan kenapa kamu bisa mati, kalau ‘gak ketemu sama cinta sejati?”
Cello menarik nafas dalam, dan mulai menuturkan cerita itu dari awal
mulanya hingga ia bisa sampai ke tempat itu, tanpa ada satu pun yang ia
lewatkan. Mikha seakan tak percaya dengan apa yang ceritakan Cello.
Sampai akhirnya Cello membawa Mikha ke kampusnya. Dan ternyata pada
waktu yang bergulir di dunia Mikha, kampus Cello hanyalah sebuah gedung
tua yang sudah lama ditinggalkan, karena berita yang beredar mengenai
kasus pembunuhan terhadap dua orang mahasiswa. Cello menuntun Mikha
menuju ruang piano itu. Dan menunjukkan piano yang ia gunakan untuk
memainkan lagu ‘Tuts V and V’, serta buku lagu itu yang terletak di atas
piano.
Mikha tak banyak bertanya atau berkomentar. Bahkan sampai mereka tiba di villa.
Senja keempat, berlalu.
—
Hari kelima.
Pagi itu tidak seperti biasanya. Ketika Cello turun dari tempat
tidur, ia merasa udara begitu dingin. Menusuk sampai ke ulu hati.
Kepalanya terasa nyeri, bahkan ia hampir mencium dinding sewaktu akan
masuk ke kamar mandi. Selesai berpakaian, ia menuju ruang tamu, dan saat
itu ia mendengar suara piano dari villa. Ia segera keluar dari rumah
dan berjalan menuju villa Mikha. Pintunya terbuka. Dan dari luar
terlihat punggung Mikha dihiasi rambut hitamnya, tengah mencoba
memainkan sebuah lagu pada piano itu.
Cello berdiri di depan pintu.
“Pagi Mikha. Boleh masuk?” ucapnya.
Mikha menoleh, “pagi El. Kebetulan banget kamu datang! Boleh ajari aku lagu itu?”
“Maksud kamu, ‘Tuts V and V’?”
“Yup!”
Cello masuk, mendekati Mikha dan duduk di sampingnya.
“Kamu sakit El? Wajah kamu pucat.”
“Gak kok! Ayo kita mulai. Coba kamu perhatikan dulu ya. Lagu ini memang diciptakan untuk dimainkan berdua.”
Cello mulai memainkan lagu itu. Mikha memperhatikannya dengan serius.
Entah apa yang membuatnya ingin mempelajari lagu itu, sampai-sampai ia
bersikeras ingin menguasai lagu itu secepatnya. Bahkan setelah makan
siang, tanpa banyak berbasa-basi, mereka kembali bergumul dengan piano
dan lagu itu. Hingga malam.
Dan kini, Mikha hampir sepenuhnya menghafal not lagu itu dan
memainkannya dengan cukup baik, meski terkadang ia berhenti sejenak
untuk mengingat not berikutnnya.
“Mikha, kita lanjut lagi besok ya. Tanganku rasanya mau copot. Kamu
juga, harus istirahat. Jangan sampai sakit,” ucapnya sambil tersenyum.
“Ya. Terima kasih, sudah mau repot-repot mengajariku. Kamu juga
kelihatan kurang sehat. Sebaiknya, sampai di rumah langsung istirahat.”
“Oke. Selamat malam, Mikha.”
“Malam, El.”
Cello berjalan menuju pintu, dan tak sedetik pun mata Mikha
melewatkan memandangi punggung Cello hingga ia menghilang di balik
pintu, ketika Cello menutup pintunya.
Hari itu, penuh dengan melodi. Ya. Hanya melodi.
da.” Suaranya parau.
Cello bisa memahami apa yang dirasakan Mikha. Rindu itu memang sebuah
penyakit yang kelewatan, apalagi ketika yang dirindu tak lagi tinggal
di dunia ini. Keterlaluan. Perasaan manusia memang penuh gejolak,
terkadang indah, namun terkadang menyiksa.
Cello mendengar sebuah perintah dari dalam hatinya. Mengirim perintah
itu kepada otak dan mengalirkannya pada seluruh jaringan syaraf. Ia
merangkul sang maha cinta. Mikha tak menolak rangkulan itu. Kini ia
leluasa meluapkan tangisnya, bersandar pada dada Cello.
Setelah tangisnya mereda, Cello mengajaknya duduk di sofa. Ia menarik sehelai tisu di atas meja, dan memberikannya pada Mikha.
“Terima kasih,” ia mengeringkan air matanya. “Maaf. Bikin malu aja, nangis di depan kamu.”
“Tidak apa-apa, kok! Wanita itu cantik ketika ia menangis.”
“Hahaha! Gombal!” jeda, “oh, iya. Lagu itu.. Itu lagu yang dulu sering dimainkan ayah dan bunda.”
Bagai tersambar petir, Cello sangat terkejut mendengar hal itu.
“Aku tidak tahu apa judul lagu itu. Tetapi tiap kali menanyakan itu lagu apa, mereka berdua menjawab,”
“INI ADALAH CINTA.” Cello dan Mikha mengatakan hal itu bersama-sama.
Kini keduanya bagai tersengat jutaan volt tenaga listrik. Setrumnya memb
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar