Pagi. Hari keenam.
Hari ini sepertinya lebih parah dibanding hari kemarin. Cello merasa
panas, dan tiba-tiba merasa dingin. Kepalanya terasa begitu sakit.
Dadanya terasa sesak, membuatnya agak sulit bernafas. Dan semua tampak
bergoyang. Ia tidak kuat berlama-lama di kamar mandi. Dan sekujur
tubuhnya terasa begitu letih, lemah. Ia sendiri tidak memahami
keadaannya.
Ia duduk sejenak di sofa. Dari villa Mikha, melodi ‘Tuts V and V’
mengalun lembut, menerobos tiap celah di rumah itu, hingga sampai ke
telinganya. Baru kali ini, ia mendengarkan lagu itu dimainkan oleh
seseorang. Rasanya begitu berbeda. Lebih menyentuh. Apa lagi, ketika
yang memainkannya adalah jemari sang maha cinta.
Melodi itu terasa seperti suplemen yang menambah tenaga.
Membangkitkan semangat dan memberi sedikit kekuatan. Cello bangkit
berdiri dan melangkah cepat menuju pintu villa Mikha. Pintu sudah
terbuka dan ia berdiri sejenak di sana. Memandangi lekat maha cintanya.
Hidupnya akan berakhir jika ia tak berhasil mendapatkan hati Mikha
dan membawanya kembali. Namun, ia tak berkuasa pula memaksanya. Ia tak
ingin cinta itu ternodai oleh keserakahan dan ketakutannya pada ajal.
“Pagi Mikha. Boleh masuk?”
Mikha berpaling, dan tersenyum, “pagi El. Ayo sini! Aku ingin kita memainkan lagu ini berdua!” ucapnya polos.
Cello melangkah perlahan dan duduk di samping Mikha. Ia melekatakkan jemarinya di atas piano.
“Ayo,” ajak Cello.
Kini jemari mereka menari lincah di atas piano. Menghidupkan
nada-nada indah yang lama terbelenggu. Yang tak sempat dimainkan berdua
oleh Venus dan Vero. Alunannya merobek udara, bergerilya di dalam villa,
mencari tiap celah untuk keluar. Membuat pepohonan dan rerumputan
seakan menari bersama.
Irama Cinta.
Dan, selesai.
Bersamaan dengan itu juga, Cello sudah jatuh pingsan di pundak kanan
Mikha. Mikha segera menoleh, dan ia begitu terkejut melihat Cello sudah
terpejam. Ia menyentuh pipi Cello, dan tubuhnya terasa begitu dingin.
“El! El!” Ia menepuk-nepuk pipi Cello.
Beruntung, pengurus tamannya sudah datang. Ia meminta tolong pria itu
memapah Cello ke kamarnya. Mikha menyelimutinya, kemudian menyalakan
penghangat ruangan. Ia menelepon seorang dokter dan memintanya untuk
datang. Kemudian ia duduk di dekat Cello, dan menggenggam tangan
kanannya.
—
Malam.
Cello mulai membuka mata. Ruangan itu tampak samar dan sedikit
berputar. Dilihatnya pula seorang gadis duduk di dekatnya dan melihatnya
dengan cemas. Ia mengenalinya.
“El?!”
“Mikha.” Suaranya hampir tak terdengar.
“Tadi dokter sudah memeriksa kamu. Dia bilang mungkin kamu kelelahan. Dia memberi obat untuk kamu minun nanti.”
“Percuma. Obat apa pun tidak akan bisa menyembuhkanku.”
“Kenapa ngomong begitu?!”
“Karena aku tidak sakit. Ini bukan tempatku. Dan aku tengah berada dalam
satu permainan. Aku hanya diberi waktu 7 kali senja. Dan besok, adalah
senja terakhir.”
“El!! Aku tidak suka dengan candaan kamu!”
“Aku tidak bercanda Mik!” Ia bangkit duduk. “Apa kamu pikir kedatanganku
ke tempat ini hanya sebuah candaan? Apa kamu pikir lagu yang kamu kenal
itu juga hanya sebuah candaan, hanya suatu ketidaksengajaan? Kebetulan
belaka?”
Mikha terdiam. Melihat mata Cello. Ia mencoba mencari sesuatu di
sana. Tetapi, sama sekali tidak ada dusta tergambar di sana, seperti
yang ia harapkan.
“Kamu bodoh El! Apa kamu tidak takut mati!?” Suaranya sedikit meninggi. “Bagaimana jika kamu tidak menemukan orang itu-”
“Aku sudah menemukannya,” potong Mikha. “Hanya saja, mungkin ia belum
menemukanku di dalam hatinya,” ia menatap lekat pada mata Mikha. “Aku
tidak takut mati, jika memang aku harus gagal. Yang terpenting, jangan
sampai aku menodai cinta itu dengan keegoisan dan nafsu untuk
memilikinya. Itulah cinta berbalut kasih.”
“Apa orang yang kamu maksud.. itu aku?”
Cello hanya mengangguk.
Mikha menunduk, menatap kosong. Ia tak dapat berpikir, tak dapat pula menjawab.
“Kamu istirahat saja di sini. Aku tidur di kamar tamu. Malam El.” Ia
bangkit berdiri, dan melangkah keluar dari kamar itu, tanpa mengucapkan
kata-kata lain. Cello hanya diam, memandangi Mikha hingga ia menghilang
di balik pintu.
Hari itu, penuh dengan keheningan.
—
Pagi ini tak seperti biasanya. Ketika membuka mata, Mikha merasakan
debaran jantungnya bergerak cepat. Ada sunyi yang begitu pekat hadir di
dekatnya. Ia duduk untuk sesaat di atas tempat tidur, sembari mencoba
mengingat-ngingat akan kejadian semalam. Ia ingin pembicaraannya dengan
Cello saat itu hanyalah sebuah mimpi. Bahkan ia menginginkan, Cello
hanyalah mimpi.
Tetapi sesuatu membuatnya segera bangkit berdiri. ‘Hari ini’. Entah
kenapa, tiba-tiba ia begitu takut kehilangan Cello. Ia berlari menuju
kamarnya. Dan dengan sigap membuka pintu. Tetapi, kamar itu telah
kosong, dan selimut yang dipakai Cello telah terlipat rapi. Ia melihat
ada sesuatu terletak di atas kasur. Ia mendekatinya dan memungutnya. Itu
setangkai bunga mawar putih dari kertas. Bunga yang sama seperti yang
diberikan Cello kepadanya pada perjumpaan pertama mereka. Ada sebuah
kertas yang diselipkan pada bunga itu. Mikha membukanya: ‘Awal dari
perjumpaan. Akhir dari perpisahan’.
Mikha segera meletakkan bunga dan kertas itu, dan berlari keluar
villa. Ia berlari menyusuri jalan di pagi yang masih dini itu. Mata dan
kepalanya liar melihat ke segala arah, mencari, dan mencari. Ia tidak
tahu ke mana kaki itu akan menggiringnya. Yang ia inginkan hanya terus
berlari dan secepatnya menemukan Cello.
Entah sudah berapa lama ia mencari, dan entah sudah berapa jauh ia
berlari. Kini langkah-langkahnya mulai melambat. Nafasnya memburu.
Keringat mengucur di wajahnya. Setiap tetesnya bertabuh seirama dengan
rasa takutnya. Takut, ia tidak akan bertemu lagi dengan Cello.
Beruntung sesuatu melintas cepat di kepalanya, ketika ia melihat
sekawanan anak muda yang akan berangkat kuliah. Ia segera teringat
kampus yang pernah ditunjukkan Cello padanya. Tanpa berlama-lama, ia
segera mengambil langkah lari cepat menuju kampus itu. Tak peduli berapa
jauh ia harus berbalik arah, yang terpenting ia bisa menemukan Cello.
Sekarang ia sudah berada di depan gerbang kampus. Gerbang itu
terbuka. Ia yakin bahwa Cello telah masuk ke dalamnya. Maka dengan
langkah-langkah cepat ia masuk ke kampus itu. Saat itu juga ia merasakan
perubahan udara di sekitarnya. Lebih dingin dibanding sesaat sebelum ia
masuk. Tapi ia tidak peduli. Bahkan ketika melihat beberapa burung
Gagak bertengger di sebuah pohon tua yang sudah kering. Tempat itu jauh
lebih menyeramkan dari sebelumnya.
Kini ia sudah menapaki anak-anak tangga. Lantai dua. Lantai tiga. Ia
berjalan lurus, menuju ruangan paling ujung. Debar jantungnya tidak
seperti biasa. Debaran rasa takut dan cinta bergerak, melangkah bersama.
Ia sudah berdiri di depan pintu. Tangannya memegang knop. Memutarnya
perlahan. Dan membukanya dengan satu dorongan keras. Pintu itu terbuka
lebar. Udara berhembus keluar menyapu tubuhnya.
Dan ia menemukan suasana yang lain. Keindahan sedang menjajah ruangan
itu. Taburan kelopak bunga mawar putih bertebaran di lantai. Jendela
itu dibiarkan terbuka. Gorden putih tipis yang bersih ditiup angin
lembut. Dan cahaya mentari pagi sedang bertamu di dalamnya. Yang
terindah adalah, ia menemukan maha cinta tengah duduk di sana.
Cello cukup terkejut melihat kedatangan Mikha. Ia segera bangkit dari kursi piano itu.
“Mikha?”
Tanpa berkata-kata, Mikha segera berlari ke dalam dan memeluk Cello
dengan erat. Cello menyambut pelukan itu. Kini dua jantung manusia itu
bertabuh seirama. Bagaikan melodi-melodi yang merangkai kidung cinta
terindah.
“Bawa aku ke tempatmu, El!”
“Tapi, Mik! Apa kamu yakin? Aku tidak bisa membawa kamu dengan hati yang terpaksa!”
“Aku telah menemukan kamu di hatiku.” Ia tidak berbohong. “Ayo kita
mainkan lagu itu bersama. Dan lagi, aku tidak mau mati di sini!”
“Ah! Iya!”
Mereka berdua duduk berdampingan di kursi itu. Meletakkan tangan di
atas tuts-tuts piano yang tersisa. Melihat dan mengamatinya dengan
seksama. Kesalahan kecil berakibat kutuk.
“Awal hingga akhir. Akhir hingga awal. Kamu mengingatnya ‘kan, Mik?”
“Ya,” ia mengangguk mantap.
DIMULAI
* * *
_Awal hingga akhir_
Musik mengalun.
Terjadi sesuatu di ruangan itu. Benda-benda di dalam sana bergetar.
Beberapa benda keramik jatuh dan pecah. Ada tiupan angin yang tak biasa
mulai bergejolak di dalam sana, membawa serta kelopak-kelopak bunga itu.
Jendela terbuka lebar. Gorden itu dijambak keluar. Perlahan muncul satu
cahaya yang tak begitu silau. Menerangi ruangan itu, bersamanya ruangan
itu seakan berputar. Membawanya kembali kepada keadaan beberapa tahun
silam. Potongan-potongan kejadian mulai berjalan.
Sepasang muda-mudi berdiri di dekat piano itu. Laki-laki itu memberi
sebuah buku lagu kepada gadis manis di depannya. “Itu adalah cinta,”
ucap laki-laki itu. Suatu senja gadis manis itu datang ke ruangan itu
lagi. Ia menunggu kekasihnya. Tiba-tiba pintu terbuka, “Ve? Itu kamu?
Ve, jangan bercanda.” Yang muncul di sana bukanlah orang yang
dinantinya. Melainkan seseorang dengan mantel hitam bersimbah darah
dengan palu di tangannya. “Sedang apa bapak di sini?” ia mengenali
manusia berjiwa setan itu! Bersama sunyi, gelap yang mencekam, dan
halilintar yang menjilati langit, satu fenomena keji terjadi di ruangan
itu. Histeris yang tak berkesudahan. Gadis manis itu akan dibantai.
Tetapi ia tidak rela mati di tangan bajingan busuk itu. Dan ia memilih
satu-satunya jalan keluar yang ada di sana. Ia berdiri di atas jendela.
Melihat ke bawah. Ketika hatinya telah mantap, ia menoleh untuk terakhir
kali, melihat dan merekam wajah monster itu. Membawa kenangan
tentangnnya dan kenangan tentang kekasihnya dalam satu lompatan bebas.
Tubuhnya mendarat telungkup di atas tanah yang basah. Jantung,
paru-paru, dan kepalanya, remuk seketika. Namun kenangan itu tidak bisa
sirna, nafas penuh amarah tidak akan padam, dan ia merasakan satu
debaran terakhir sebelum semuanya berakhir. Debaran itu bukan miliknya,
tetapi milik seseorang yang lain, di balik tanah itu.
—
_Akhir hingga awal_
Musik mengalun.
Rentetan potongan kejadian itu bergerak mudur dalam hitungan
detik-detik yang cepat. Kini muncul potongan lain. Seorang pria dan
seorang laki-laki muda tengah berbicara serius di dalam satu ruangan.
Terlihat antara dosen dan muridnya.
“Ini sama saja dengan penipuan besar-besaran, Pak! Saya tahu lagu itu
bukan karangan Bapak. Saya telah lebih dahulu menemukan lagu itu dalam
tumpukan barang bekas di gudang. Lagu itu karangan seorang siswi yang
sudah lama meninggal, dan ia belum sempat mempertunjukkan karyanya. Lagu
itu milik, Sove!”
“Kau tidak mengerti apa-apa, Venus!”
“Saya mengerti, Bapak ingin sekali memiliki satu karya yang menjadi
masterpiece. Tetapi, keinginan itu telah membuat Bapak mabuk dan tidak
sadar bahwa yang Bapak lakukan ini salah! Karya agung tidak tercipta
hanya melalui otak, tetapi ia terlahir dari dalam hati dan perasaan!”
“Kau hanya anak ingusan! Jadi tutup mulutmu!” Rendy, dosen ‘sang
plagiator’ itu keluar dari ruangan tersebut dengan rasa amarah, benci,
dan takut yang luar biasa.
Suatu senja Venus sedang berada di ruang piano itu menunggu
kekasihnya Vero, untuk menepati janjinya memainkan lagu ‘Tuts V and V’
itu. Dan sebagai hadiah tepat di hari ulang tahun Vero. Tiba-tiba pintu
terbuka. “Vero, itu kamu?” tanyanya dalam nada riang. Tetapi semuanya
berubah ketika yang dilihatnya berdiri di depan pintu itu bukanlah Vero
melainkan manusia yang telah kesetanan, dipenuhi arwah dendam, benci,
dan nafsu membunuh yang membabi-buta. Tanpa banyak berkata-kata, pria
itu menyerang Venus berkali-kali dengan palu yang ada di tangannya. Ia
menyeret keluar tubuh Venus dan menjatuhkannya melalui anak-anak tangga.
Venus tidak berdaya melawan palu itu. Tubuhnya diseret dan digiring ke
tempat pembantaian terakhir.
Di belakang kampus, sebuah lubang sempit yang tidak begitu dalam
telah digali. Dengan pandangan yang samar-samar, Venus melihat lubang
itu, dan ia diseret masuk ke dalamnya. Tubuhnya telentang menghadap
langit senja yang mendung. Sampai akhirnya ia merasakan gumpalan tanah
dingin perlahan-lahan menyelimuti tubuhnya. Seluruhnya.
Dan pada detik-detik terakhir nafas yang tersisa. Ia merasakan ada
sebuah tubuh yang jatuh tepat di atasnya. Hujan membawa masuk aroma
tubuh itu ke dalam tanah. Aroma parfum yang begitu ia kenal. Aroma milik
Vero. Di permukaan tanah itu, terbaring tubuh kekasihnya. Debaran
terakhir digunakannya untuk mengucapkan sesuatu dari hati terdalam, “Aku
mencintai kamu Vero. Selamanya..”
Gadis itu bisa merasakan debar jantung itu. Di balik tanah itu, ada
degub jantung seorang manusia. Ia pernah hidup. Dicintai dan mencintai.
Manusia itu adalah maha cintanya. Venus.
—
BERAKHIR
Cello jatuh ke lantai, tidak sadarkan diri. Tubuhnya semakin dingin.
Mikha segera memangku kepalanya dan mencoba membangunkannya. Ia semakin
takut ketika melihat tubuh Cello berubah menjadi uap dingin yang bersatu
di udara dan terlihat semakin tipis.
Sampai akhirnya, satu suara mengejutkan Mikha.
“Jangan khawatir, Mikha. Cello hanya tertidur.” Itu Venus.
Mikha begitu terkejut melihat dua orang muda-mudi datang berjalan
mendekatinya. Ia baru saja melihat wajah mereka dalam potongan-potongan
kejadian itu. Dan melihat mereka berakhir dengan mengenaskan. Tetapi
yang dilihatnya kini hanya dua orang manusia yang pernah hidup dengan
aura kedamaian yang memancar dari wajah mereka.
“Venus dan Vero?”
“Iya,” Vero menjawab dengan senyum, “salam kenal, Mikha.”
Venus melangkah mendekati tubuh Cello. Ia berjongkok dan menggenggam
erat tangan kanannya. Uap dingin yang melebur dari tubuh Cello seketika
kembali, bersatu dan memadat. Tubuh dinginnya berubah menjadi hangat.
Wajahnya merona, sehat. Venus berdiri dan tanpa ragu menarik tangan
Cello, dan bersamaan Cello seakan kembali dari kematian dan segera
bangkit berdiri. Ia cukup terkejut ketika melihat Venus dan Vero ada di
sana.
“Kami tidak punya waktu banyak untuk berbincang-bincang dengan kalian
sambil menikmati secangkir teh. Tapi, kami sangat berterima kasih,
karena kalian telah mempertemukan kami kembali di sini. Sekarang, kami
telah siap untuk berangkat dan melupakan dendam itu. Namun, aku berharap
kepadamu Cello, agar kau bisa menegakkan keadilan bagi kami berdua,”
ucap Venus.
“Terima kasih Mikha, karena cintamu kepada Cello, telah melepaskan kami dari ikatan dendam dunia,” ucap Vero disertai senyuman.
“Sekarang kami harus pergi. Pintu keluar kalian, sudah terbuka.”
Vero memeluk Mikha, dan Venus memeluk Cello. Tanda persaudaraan dan
persahabatan antara manusia dan mantan manusia. Venus dan Vero menjauh
dari mereka. Bergandengan tangan dan berjalan menuju satu cahaya.
Kemudian menghilang.
Semuanya kembali seperti semula. Tanpa berlama-lama, Cello
menggandeng erat tangan Mikha dan membawanya berlari menuju pintu
keluar. Ia memegang erat knop pintu, dan membukanya dengan lantang.
Segera cahaya silau menyapa mata mereka. Dan ketika semuanya mulai
jelas. Cello melihat kerumunan orang banyak di depan ruangan itu. Ia
juga melihat sohibnya, Remi dan Arta. Ada garis polisi yang menghalangi
pintu itu. Cello dan Mikha menerobosnya keluar.
Semua orang yang ada di sana begitu terkejut dan tidak percaya. Ada
beberapa waktu lamanya, keheningan itu berlangsung. Sampai akhirnya
Cello membuka mulut kepada polisi yang mendakwa tempat itu sebagai TKP.
“Pak, ada dua mayat di belakang gedung itu. Mayat itu adalah Venus dan
Vero, dua mahasiswa yang dinyatakan hilang beberapa tahun yang lalu.
Mereka dibunuh oleh seorang dosen di kampus ini, bersama Rendy. Rendy
melakukannya karena dia tidak mau kedoknya terbongkar, mengenai kasus
plagiasi lagu karya almarhum Sove.”
Setelah menceritakan kejadian itu secara detail, Cello kembali
pingsan. Ia dilarikan ke rumah sakit, dan polisi segera menangani kasus
itu. Tubuh Venus dan Vero benar-benar ditemukan di sana, dalam rupa
kerangka. Rendy, manusia keji itu segera ditangkap di kediamannya, dan
mendapat hukuman dengan pasal berlapis. Hasil akhirnya, kurungan seumur
hidup.
—
- Coffee Break -
“Kamu sedang apa, sayang?” tanya Mikha sambil membawa dua gelas kopi
hangat ke atas meja makan. Di meja itu Cello terlihat sangat serius
dengan laptopnya. “Kamu serius, banget. Jangan bilang kamu sedang
mikirkan cara untuk melamar laptop itu!” candanya, sambil merangkul
Cello dari belakang.
“Hahahaha!! Aku sedang menuliskan kisah cinta kita! Dan ini hampir selesai!”
“Kamu tidak melewatkan soal tanah yang jadi alas tidurmu dan langit atapmu, ‘kan?”
“HAHAHA!! Tidak akan ada satu bagian pun yang terlewatkan!”
“Lalu, bagaimana kamu mengakhiri ceritanya?”
“Dengan sebuah puisi. Bunyinya;
_ Cinta..
Satu zat tanpa satuan.
Bereaksi tajam menembus segala kepadatan.
Seperti racun, yang memompa jantung.
Berdenyut kencang, membekukan darah.
Melumpuhkan syaraf. Stroke seketika.
Itulah defenisi cintaku..
Ketika tetesannya jatuh darimu.
Tepat di sini. -
Aduh, ini apa sih! Kelihatannya mataku udah ‘gak beres!”
“Masa? Coba aku lihat. Yang mana?” Mikha mendekatkan kepalanya ke samping wajah Cello.
“Ini. Kata terakhir.”
“Oh! Itu kata,
Hati_”
Cello segera mencium pipi Mikha.
Udara bertiup lembut membelai gorden di ruang makan itu. Membawa
udara surgawi masuk ke dalamnya. Cahaya mentari pagi sedang berlari
riang di ruangan itu. Dan lagi, ada cinta abadi yang menetap di sana.
^_The End_^
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar