4
Masjid besar Al Mahmudiyah di Jl Ki Gede Ing
Suro, Kelurahan 30 Ilir, Kecamatan Ilir Barat (IB) II, Palembang merupakan
salah satu masjid bersejarah. Siapa sangka, tempat ibadah umat muslim yang
akrab disebut Masjid Suro. Masjid ini
sempat terlantar sejak didirikan oleh Ki H Abdurahman Delamat tahun 1889.
Tak tanggung-tanggung, masjid ini terlantar hingga 32 tahun pada zaman
penjajahan kolonial Belanda.Keterangan Lukman Nulhakim, sekretaris Mesjid Al
Mahmudiyah, perjuangan Ki H Abdurahman Delamat mendirikan Masjid Al Mahmudiyah
mendapat tentangan keras penjajah Belanda. Usai mendirikan mesjid ini, sesuai
dengan nama lokasi masjid, Jl Ki Gede Ing Suro, Ki H Abdurahman Delamat
mendapat panggilan dari residen Belanda. “H. Abdurahman Delamat mendapat
peringatan agar tidak melakukan shalat Jumat serta shalat berjemaah di masjid
yang baru dibangunnya,” ungkap Lukman.
Dalam pandangan Belanda, H.Abdurahman
menyampaikan dakwah terselubung tentang pentingnya persatuan dan kesatuan umat
Islam. Hanya saja, berdasarkan catatan yang dikumpulkan langsung oleh Hasan
Basri, cucu Ki H.Abdurahman Delamat, Belanda khawatir terhadap banyaknya
keanehan yang terjadi selama pendirian mesjid. Tidak disebutkan secara rinci
pekerjaan H Abdurahman Delamat berdasarkan catatan Hasan Basri. Tidak seperti
Mgs. Abdul Hamid bin Mahmud atau Kiai Merogan yang dikenal sebagai saudagar
kayu dan membiayai sendiri Masjid Kiai Muara Ogan serta Masjid Lawang Kidul
yang membutuhkan biaya sangat besar.
H. Abdurahman sendiri konon mendapatkan uang yang
dibutuhkan untuk membangun Mesjid Suro setelah shalat Tahajud dan berdoa
meminta rezeki. Setelah itu, di bawah sajadahnya, didapatilah uang yang
kemudian dipergunakan untuk membayar gaji pekerja mesjid serta membeli bahan
bangunan. Residen Belanda yang sempat meminta penjelasan dana pembangunan
mesjid sempat dibuat tercengang. Ketika Ki H. Abdurahman Delamat membawa satu
karung uang. Padahal, isi karung tersebut konon awalnya hanya serutan
kayu.Keanehan lainnya, balok kayu penyangga mesjid yang tidak mencapai atap,
menjadi panjang berkat doanya. Pernah juga kata Lukman, puluhan pekerja
mendorong kayu dari Sungai Musi menuju mesjid. Beratnya kayu tersebut membuat
pekerja sulit menggerakkan balok kayu. Oleh H. Abdurahman, balok kayu didorong
dari belakang.
Dengan bantuan beberapa pekerja saja, kayu besar
tersebut bisa dibawa ke mesjid. Termasuk kayu balok penyangga mesjid, yang
dinilai tukang sebagai kayu kelas tiga, selesai dipasang dan digosok oleh H.
Abdurahman Delamat, balok itu menjadi kayu kelas satu. “Semua kejadian ini
disaksikan oleh tukang serta masyarakat yang bergotong royong membangun
mesjid,” ujar Lukman.Alhasil, dari semua keanehan tersebut, Residen Belanda
mendesak Ki H. Abdurahman Delamat meninggalkan Palembang. Khawatir dengan kehebatan
dan kharisma besarnya.Permintaan tersebut disetujui. Ki H. Delamat hanya
meminta syarat, ketika meninggal dapat dikebumikan di dalam mesjid yang
dibangunnya. Syarat diajukan Ki H Delamat disetujui residen Belanda.Setelah
mengungsi, kepengurusan Mesjid Al Mahmudiyah diserahkan pada Ki Kgs. H Mahmud
Usman. Namun, tak lama berselang Ki Kgs.
5
H. Mahmud Usman meninggal, masjid sempat
terbengkalai. Satu mesjid lainnya, juga dibangun Ki H. Delamat di 36 Ilir yang
belum selesai terbangun, terpaksa di tinggalkan (sekarang Masjid Ardaniyyah).Ki
H. Delamat sendiri, dalam pengungsiannya di dusun Serika meninggal pada tahun
1892. Oleh dua anaknya, H Abdul Kodir dan HM. Yusuf, makam Ki H Delamat
dibongkar kemudian dibawa ke Palembang. Dimakamkan di belakang mimbar mesjid
sesuai persetujuan ayah mereka bersama residen Belanda kala itu.Hanya saja,
ketika mengetahui jenazah Ki H Delamat telah dipindah ke Mesjid Al Mahmudiyah,
Residen Belanda marah dan meminta makam segera dipindahkan. Namun, dibantu
tahanan Belanda, kotak jenazah Ki H Delamat yang terendam dan mengeluarkan
aroma wangi tak dapat diangkat. Tali pengangkat peti malah sempat putus.”“Makam
baru bisa dipindah ke belakang sekolah Nurul Falah, 30 Ilir setelah anak Ki H
Delamat meminta bantuan Kiai Merogan sebagai orang dekat Ki H Delamat. Kiai
Merogan hanya mengucapkan beberapa kata, meminta Ki H Delamat tidak menyusahkan
anaknya. Setelah perkataan itu, hanya dengan dua orang, kotak kayu berhasil
diangkat,” jelas Lukman.
0 komentar:
Posting Komentar